(Tak Lagi) Hujan Bulan Juni

"Dalam intiku," begitu kata Pak Sapardi Djoko Damono, "kau terbenam".


Dalam semarak yang kian usang disentuh gemuruh angin, sore tak lagi kita sapa ditengah perut kosong di bulan Juni itu.

Tak ada lagi punggungmu diatas kursi panjang bercat abu, pun tak ada lagi jinjingan oleh-oleh khas Yogyakarta kesukaan banyak orang itu.

Aku masih menggunakan baju yang sama. Di tanggal 10 Juni, ditahun yang berbeda. Tak lagi ku tunggu, karena kini musim berubah laju.

"Kamu manusia yang merdeka, Ay!" , satu kalimat terlontar dari mulutmu.
"Ingat, kamu manusia yang merdeka." , dua kali kalimat penegasan.
"Tak perlu merasa terikat. Kamu bebas. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa." , kalimat ketiga semakin jelas.

Cahaya surya meredup, seketika keinginan untuk menyalakan lentera semakin menguat. Takut-takut kegelapan hendak menyeruak masuk. Diam-diam mencuri nurani, diam-diam meracuni hati.

Tapi nyatanya tak ku temukan pekat itu. Malah jalan cahaya yang kian jelas terlihat. Aku melangkah, dan tanpa ragu, aku kembali menemukanNya.

Ada yang menyambut, melambai tangan seraya mengucapkan, "ahlan wa sahlan!"

Ah, memang benar rupanya, Dia pencemburu yang paling hebat!
Tak dibiarkannya aku berharap kepada selainNya.

Yah, kita tak bisa menentukan akan jatuh kepada hati siapa dan pada waktu maupun tempat yang bagaimana, tapi pada akhirnya kita selalu bisa memilih; siapa yang kita izinkan untuk memberi arti.

Bukankah segala yang baik, akan kembali kepada kebaikan jua?

Benarlah kiranya kedua opsi paling ampuh saat ini, halalkan atau ikhlaskan.

Dan si manusia itu, berhasil mengajariku bagaimana mencintai yang baik.

Dilonggarkannya jarak interaksi, dibatasinya topik-topik pembicaraan dari hari ke hari, kemudian lamat-lamat tak lagi terdengar kabar.

Mungkin itu caranya menjaga.

Aku paham sekarang.

"Aku seperti ini, karena aku tahu, setiap perempuan itu berharga. Ada kehormatan dalam dirimu yang harus aku jaga. Tapi inilah caraku. Percayalah, dan maafkan jika itu sedikit membuat hatimu tak nyaman."

— "Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono)

Meski kini Juni sedang tak hujan, tetap saja dalma akhir kata kau berdo'a; "Semoga Allah menjagamu dengan penuh dekapan."

Ayu Saraswati
Bandung, 14 Juni 2017

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah