Menurutmu, Bahagia itu Apa?


"Asikkk! Gua dapet A sekarang! Kemarin-kemarin dapet AB atau B mulu."

"Gils, IP ku naik, jadi 4 sekarang. Kemaren-kemaren cuman tiga komaan. Beuh, ada alamat cumlaude nih."

"Alhamdulillah, bisa makan-makan enak hari ini. Ditraktir temen gue broh, lagi ultah dia!"

"Wah badass banget nih dosen, kelar juga akhirnya skripsi ane. Sidang lancar, tinggal nunggu pake toga. Thank you Pak!"

Dari sekian selentingan-selentingan momen yang didapat, tak jarang, hal-hal kecil pun bisa menjadi hal yang membahagiakan dalam hidup kita.
Karena bahagia itu mudah bukan?
Hanya kita yang sedikit memperumit standarnya, huehe.
Aku bahagia kalau inilah, aku bahagia kalau itulah. Seringkali kita membuat standar sendiri, yang rumit, yang terlalu tinggi untuk digapai atau mungkin langka didapatkan dalam aktivitas keseharian.




Bukankah kita bisa makan saja kita sudah bisa bahagia? Kenapa kita harus mempersulitnya dengan syarat, "harus makan disini, makan sushi, di tempat makan X."

Bukankah kita bisa kuliah saja kita sudah bisa bahagia? Kenapa kita harus mempersulitnya dengan syarat, "Harus kuliah di kampus ternama, diluar negeri, pergaulannya oke, fasilitas mantap."

Bukankah kita punya gadget tertentu saja kita sudah bisa bahagia? Kenapa kita harus mempersulitnya dengan syarat, "kameranya harus 20 MP, teknologinya terdepan, harganya sekian juta."

Bukankah ada orang yang makan seadanya tapi tetap bahagia?
Bukankah ada orang yang kuliah di tempat biasa saja tetap bahagia?
Bukankah ada orang yang hidupnya sederhana bisa tetap bahagia?

Jadi kebahagiaan itu, bukan dari apa yang kita miliki, tapi apa yang kita syukuri.

Dalam dunia modern abad ini, seringkali kebahagiaan disandingkan dengan hal yang sifanya fisik. Berupa materi, prestasi dan segudang keduniawian yang kita tahu, itu tak akan berlangsung lama.

Bahagia sih bahagia, tapi apa akan seterusnya?
Bahagia sih bahagia, tapi apa alasan bahagia itu mampu menghantarkan kita kepada bahagia yang hakiki?

Banyak orang yang kita anggap mereka bahagia, ternyata tidak.
Ada orang yang memiliki harta melimpah, uang triliunan, tapi mati bunuh diri.
Ada orang yang memiliki prestasi gemilang, posisi di perusahaan oke, tapi hidup dalam tekanan.
Ada orang yang memiliki keluarga lengkap, rumah gedongan, tapi hidup sibuk menutupi utang.

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi seorang yang beriman dan beramal shaleh, merekalah sesungguhnya yang merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah.

Walaupun mungkin kita melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan segala sesuatu. Namun jika kita melihat jauh, kita akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97).

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

So, bahagia itu, ketika kita tidak melupakan Allah sebagai alasan kita untuk berbahagia. Bahagia itu juga, adalah ketika kita berbuat baik semata-mata karena ingin makin ta'at sama Allah.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah