Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Menjaga Keluarga

Gambar
Ini Abah, dan Nenek. Orangtua dari ibuku. Abah yang seusai halal bi halal di lapangan Masjid langsung menemuiku yang sedang menepi di pinggir masjid. Ia memanggilku, "Ay..." Segera aku menghampiri beliau lalu memeluknya. Mata Abah sudah sembab, bibirnya bergetar. Sambil mencium pipiku, abah berkata, "Maafin Abah ya kalau Abah banyak salah sama Ayu. Sing pinter sing soleh..." Lain dengan Nenek, seba'da shalat ied di masjid dengan shaf langganan dari tahun ke tahun kami sekeluarga, kami senang berada di shaf kedua dari depan, Nenek mendekatiku yang sedang melipat mukena. Nenek berucap sesuatu hal yang membuatku speechless... "Ay do'ain ya moga Nenek tahun depan masih bisa ketemu Ramadhan. Masih sehat, masih kuat. Kan nenek pengen ngelihat Ayu wisuda. Ayu sekarang ambil kuliah 4 tahun kan? Kenapa ngga bisa 2 tahun aja kuliahnya? Do'ain Nenek ya." , ucap Nenek berbisik di telingaku sambil memeluk tubuh kecil ini. Aku hanya bisa terpaku

Good Mentoring!

Gambar
"Because a good mentoring is a life changing." Bahkan menjadi seorang mentor pun mengubah hidup. 😊 Menurutku,  itu membuat kita jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Lebih menenangkan hati dan bersemangat dalam perjuangan hidup ini. Tak hanya sendiri, tapi kita bersama-sama. Saling menyokong dan saling membantu dalam perbaikan diri. Walau kendala seringkali datang pada jadwal yang bentrok, atau kesibukan lain,  itu pintar-pintarnya kita dalam memanejemen waktu. Manajemen waktu bukan sekeder mengatur jadwal, tapi MENENTUKAN PRIORITAS juga. ^^ Walau sibuk, tapi jika menganggap mentoring itu PENTING, maka pasti akan ada saja jalan untuk bisa menempuhnya. Dan tahu tidak? "Pekerjaan-pekerjaan besar itu diselesaikan oleh orang-orang yang sibuk, bukan oleh orang yang santai." Hehe. :) Sibukkanlah diri dengan kebaikan, dengan agenda-agenda. Sebelum agenda-agenda tersebut menyibukkan diri Anda. Kita yang memilih! Jangan dipilihkan oleh keadaan. Semoga senanti

Jika Sudah Usai, Kerjakan yang Lain

Gambar
"Ay, ke masjid sini lagi atuh Ay. Ajarin anak-anak disana. Dakwah disana. Jangan diluar aja. Yang jauh dijangkau, yang dekat diabaikan. Masa mau begitu?" , kata Bapak di dini hari saat Ramadhan pertengahan kemarin. Aku yang masih terduduk seusai tilawah langsung terhenyak, dan merasa amat bersalah. Kesibukanku diluar rumah membuatku tak lagi sering 'menjenguk' anak-anak dan kawan-kawan yg masih setia mengajar di TPA Masjid dekat rumah. Jumlah anak-anak ratusan. Belum lagi di TPA sekarang sedang meregenerasi pemudanya dari SMP dan SMA utk mengisi kekosongan dan mengambil alih tugas sebagai pengajar. Tanpa kata. Aku tak berani menjawab Bapak. Karena memang aku sudah melakukan kesalahan. Terkadang banyaknya aktivitas diluar membuat waktu rehat di rumah menjadi tak ingin melakukan banyak aktivitas. Tapi justru, hal itu pula lah yang keliru. Hal ini ditunjukkan oleh Bapak. Bapak menasehati, "Ay, sayang kan, ilmu ayu banyak, belajar dan ngaji dari luar, sok

Masih Mau 'Kan?

Gambar
Masih Mau 'Kan? "... Memang merupakan kesalahan, jika kita terus saja saling menasehati. Tapi dalam diri, tak ada hasrat untuk berbenah dan menjadi lebih baik lagi di tiap bilangan hari ..." —Salim A Fillah Rapat-rapat ku tutup lembaran Qur'an, dan tengadah sambil ku rebahkan tubuhku. Menutup mata sejenak kemudian mengingat kembali saat melihat gurat lengkungnya nyaris habis tadi malam. Ia akan pergi, dan akan segera pergi. Terbit titah baru, dengan bentuk yang mereka sebut: hilal. Mulanya aku tak begitu antusias dengan gema takbir yang kian memenuhi langit. Dari sudut kampung hingga jalanan di kota-kota. Dari speaker masjid yang riuh dengan suara anak-anak bertakbir ria, hingga mobil-mobil bak terbuka yang siap mengangkut beberapa orang dan bedug untuk disuarakan ditengah-tengah penduduk kota. Aku masih terpaku. Masih tanpa linangan air mata. Rasanya seperti, kau berdiam diatas eskalator dan ialah yang membawamu ke atas atau ke bawah. Tanpa perlu menaikkan kak

Menempatkan Posisi

Gambar
"Kita harus pandai menempatkan diri." , ucap Teh Al saat kita perjalanan pulang menuju Ciparay. "Maksudnya menempatkan diri gimana Teh?" , tanyaku sambil tak memalingkan wajah dari jalanan sama sekali. "Iya maksudnya kita harus tahu posisi diri kita ada dimana. Terlebih kalau kita lagi jaulah (kunjungan) gini. Kita orang asing kan buat penduduk disana. Bahkan kalau kata temen teteh yang udah wisuda mah, setelah kita wisuda, —WELCOME TO THE JUNGLE! , kita bisa ketawa sehari aja waktu wisuda. Kesananya? Gimana. Kita bakal bener-bener terjun ke masyarakat. Mengamalkan ilmu kita." , jawab Teh Al panjang lebar. Aku masih memutar otak, dan meresapi kalimat tersebut. Selebihnya, aku berpikir, —menempatkan diri atau menyadari posisi. Selama ini, sadar tidak kalau kita tuh seringkali kurang bisa menempatkan diri? Terlebih di bumi ini, di dunia ini. Kita tahu, kita itu hanya 'numpang' hidup di buminya Allah. Kita tahu kita itu punya posisi sebagai H

Reaksi

Gambar
Apa yang menurut kita 'biasa saja', bisa jadi untuk orang lain adalah hal yang berharga. Seperti yang kemarin aku coba lakukan dengan kawanku, Hanin. Kami mencoba melakukan sesuatu, sebut saja: social experiment. 😁 22 Juni, usai shalat ashar di Masjid beraksen China, Masjid Al-Imtizaj, aku didatangi oleh seorang SPG perempuan (mungkin). Beliau menyodorkan suatu produk biskuit produksi Indonesia. Rupanya memang sedang bagi-bagi biskuit gratis.  SPG itu tidak sendiri, tetapi ditemani oleh rekannya yang sedang meliput kegiatan rekannya memberi sampel biskuit gratis ke masyarakat. Aku diberi satu, dua, dan tiga. Begitupun dengan Hanin. Dan alimat pertama yang keluar dari mulut kita adalah, "Oh iya terima kasih..." Tapi, akankah berbeda dengan yang kami katakan dengan yang orang lain katakan ketika menerima biskuit gratis itu? Aku ingin mengetahui bagaimana reaksi orang lain yang menurutku —mereka yang punya kondisi ekonomi sulit, saat diberi makanan gratis (s

Ruang Bebas Baca

Gambar
                               Ah, dalam riuh rasa yang tak terindra, aku masih saja menahan jemari. Menahan mata untuk tak lebih dulu awas, menghadang laju waktu yang terus melesat -dengan menoleh pun, malas. Memikirkan bagaimana pada akhirnya setiap anak bahasa dapat dipahami, segala cerita bisa disampaikan dengan ikhlas hati, dan setiap hikmah secara sederhana dapat diilhami. Aku ingin memberi sebuah kabar. Untukmu, jika bertanya, mengapa dan bagaimana, akan ku jawab dengan secarik kisah. Kronologi singkat namun tak pendek kata. Biar tak lagi memendam tanya, atau mencari jejak berbayang. Karena rupanya, matahari di ganesha tak lagi berkesempatan membasuh tubuh lebih lama.                                                                              *                                                        “Pada suatu hari nanti                jasadku tak akan ada lagi               tapi dalam bait-bait sajak ini              kau takkan kurelakan s