Sepenggal Kisah dari Azizah

         Lengang. Aspal jalanan nampak mengkilat bersih tersiram cahaya dari lampu jalanan yang berjejer disepanjang jalan Dago ini. Perlahan secara konstan, dengan kecepatan kira-kira 40-50 km/jam, rumah bisa ku jangkau dalam waktu setengah jam. Tidak seperti biasanya. Aku senang jalanan ketika bulan Ramadhan tiba, jalan raya tak begitu padat oleh kendaraan bermotor, perjalanan pulang pergi bisa lancar, untuk beberapa alasan, pikiranku pun ikut lancar untuk memikirkan pengalaman yang ku dapat di hari ini. Hari pertama Ramadhan, dimana aku mulai menjalankan beberapa agenda dan kesibukan yang ingin ku lakukan di Ramadhan tahun ini.

Siang tadi, ketika mu’adzin usai mengumandangkan lantunan cinta dari Rabb semesta alam, aku kembali ke sekre humas di gedung kayu komplek Masjid Salman ITB dengan menenteng kamera setelah kumpul perdana tim Salman Media. Namun ketika aku menengok keluar ruangan, aku melihat ada sosok seorang pria yang sedang tersenyum ramah menyapa teman baruku, sebut saja Fira, didepan gedung kayu ini. Sontak aku langsung berlari keluar ruangan untuk menemui pria tersebut. Pria yang dengan kesederhanaanya, mampu membuatku sejenak terpesona. Diusianya yang sudah menginjak 40an, terpancar aura ketenangan serta kebijaksanaan dari beliau yang ku tahu adalah seorang lulusan ITB entah tahun berapa dari jurusan Teknik Fisika, sama seperti anak perempuannya, yang dimana anaknya tersebut adalah sobat karibku sejak SMP.

Matahari agaknya mulai turun, beberapa orang mulai berbondong-bondong memasuki ruang utama Masjid Salman untuk mengikuti kegiatan ramadhan rutin yang diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB dengan P3R sebagai roda penggeraknya. Aku masih asik berkeliling, menangkap momen demi momen yang ku saksikan sendiri dengan mataku dan mata kamera yang ku genggam sore itu. Berjalan dari gedung kayu hingga ke bagian koridor utara masjid. Ada yang menarik, ketika iseng aku duduk mengamati sekitar, mencoba meresapi suasana ramadhan di komplek Masjid ini dengan khidmat.

       Tak sengaja, lensa kamera ini mengarah kepada sepasang ikhwan wa akhwat yang sedang bermain dengan dua buah hati mereka. Yang bungsu berada dipangkuan ibunya, dan yang sulung sedang asik bergelayutan dibahu ayahnya. Masya Allah, betapa bahagianya anak-anak ini. Dengan orangtua yang ada disisinya, dengan ramadhan yang membuat suasana bulan ibadah menjadi lebih barakah, diajarkannya untuk sering-sering mengujungi masjid dan beraktivitas disana, jauh dari kesan mewah dengan gadget yang saat ini seringkali merampas masa kecil anak-anak, memenjarakan imajinasi dibawah layar beberapa inch yang terkadang membuat candu, atau dijauhkan dengan bimbingan dari orangtua yang perannya sangat dibutuhkan di usia-usia genting seperti sekarang ini.

Momen keluarga kecil yang aku tangkap di komplek Masjid Salman ITB


Aku jadi teringat kisah hidup dari temanku, yakni Azizah. Berhubung hari ini bertemu dengan Ayahnya, semakin mengingatkanku dengan kisah tersebut. Azizah pernah menceritakan bahwasanya dahulu, ia amat nakal. Susah diatur, sangat malas belajar, dan senang berbuat onar di rumah. Kalian tahu alasanna apa? Alasannya sangat sederhana. Karena temanku itu, kurang mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Ayah dan ibunya begitu sibuk membangun karir, mengejar kebutuhan dan keinginan secara ekonomi agar mampu menunjang kehidupan keluarganya. Ibunya bekerja disuatu perusahaan, dan begitupun Ayahnya. Alhasil, Azizah dan adiknya diasuh oleh seorang bibi yang dibayar oleh orangtuanya. Makan, ingin disuapi, mandi pun ingin dimandikan. Berangkat sekolah diantar, tetapi saat di sekolah, Azizah hanya menangis terus dan membuat keributan dengan kabur dari sekolah TK nya. Kadang berkelahi dengan teman sekolahnya, tidak nurut dengan gurunya dan ah segudang kenakalan anak kecil yang seperti kita tahu, anak kecil tersebut membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang dewasa sekitarnya.

“Kamu tahu gak Ay, kenapa aku kayak gitu waktu kecil?” , Tanya Azizah menyela jalan cerita yang sedang disampaikannya saat itu, saat pertengahan bulan Maret.

“Engga Zah, kenapa memang?”

“Aku, kayak gitu tuh, karena ingin diperhatiin sama ortu aku Ay. Aku gak mau gitu mereka tuh sibuk sehingga gak punya waktu buat main sama aku. Aku suka ingin marah kalau mereka berangkat kerja sementara aku dititipin sama si bibi. Kalau aku gak nakal, aku gak mungkin diperhatiin. Jadi aku nakal aja biar ortuku sibuk ngurusin aku. Aku tahu sih cara aku ini salah kayaknya. Tapi gimana lagi, …..”

Wushhh.... angin sore seketika semakin dingin saja, tanda-tanda hujan akan mulai bertamu. Awan-awan berkumpul memekat, sedikit tersindir, rupanya aku seperti diperintah untuk segera pindah ke tempat yang lebih aman dari jangkauan hujan jika terjadi. Sambil ogah-ogahan berpindah, Azizah kembali melanjutkan alasannya.

“Sampai-sampai, udah berapa kali gitu Ay aku tuh dibawa ke psikolog, biar ortu aku ngerti aku tuh kenapa. Duh padahal simple banget, aku ingin mereka ada waktu buat aku. Itu aja sebenernya.”

“Ya Allah Zah, …. Aku belum tahu loh masa kecil kamu kayak gini.” , kataku sambil tak berhenti memandangi matanya yang mulai berkaca-kaca.

“Iya Ay, tapi setelah aku masuk SD, ada satu perubahan yang aku lihat dari ortu aku. Pernah ya, waktu hari pertama masuk SD, aku ngebet banget pengen dianterin sama Ayah ke sekolah. Padahal, hari itu adalah hari dimana Ayah aku mau wawancara untuk kerja diperusahaan besar gitu. Yang kalau kata lulusa ITB mah, bergengsi banget perusahaan itu tuh. Gajinya gede, kehidupan orang-orang yang kerja disana juga lumayan terjamin. Tahu ga Ay, Ayah aku malah lebih milih nganterin aku ke sekolah daripada ikut tes ke perusahaan itu. Padahal, gak gampang diterima kerja disana tuh. Harus tes berkali-kali, prosesnya lama, tinggal satu tahap lagi, yaitu wawancara, tapi Ayah aku ngelepasin gitu aja kesempatan itu hanya untuk nganterin aku.

Ortu aku yang kalau di rumah kadang-kadang suka agak berantem gitu, jadi engga lagi Ay, ibu udah resign dari kerjaannya dan milih untuk ngurus aku dan adik aku di rumah. Terus Ayah aku, cari kerja yang lain yang lebih pas waktunya supaya bisa nyesuain waktu untuk keluarga. Masya allah banget Ay, aku terharu kalau dipikir-pikir. Lama kelamaan kelakuan aku yang nakal itu, jadi terkikis. Aku yang males belajar waktu itu, jadi sering diajarin sama Ayah pelajaran sekolah. Walau jujur aja, waktu SD sampai SMP tuh aku bodo banget tahu, hahahaha. Nilai aku selalu dibawah, bahkan dapet ranking akhir. Tapi ayah aku ma uterus ngajarin aku, sabar sama proses belajarnya aku yang agak lambat itu. Kamu tahu sendiri mungkin waktu aku SMP gimana, nilai aja kalah sama kamu, hahaha…” , kata Azizah sambil menempuk kakiku, tertawa ringan tanpa mengalihkan pandangannya padaku.

“Tapi Ay, diakhir-akhir SMP kelas 3, menjelang UN, baru disitu aku mulai bisa berubah dan bertahan sama nilaiku. Dan Alhamdulillah bukan, aku ngga nyangka bisa diterima di SMA favorit di Bandung.” , lanjut Azizah.

Ya, benar, setahuku, Azizah tidak begitu dikenal sebagai siswa yang pintar saat SMP dahulu. Namun, ada satu hal yang membuatku dan teman-teman satu sekolah kaget bukan main. Nilai UN temanku ini, begitu fantastis, menembus angka 38 koma berapa, mendekati 39. Aku mengenal Azizah, dia bukan tipe orang yang senang berbuat ‘kotor’.

        Azizah mengatakan bahwa selama SMP itu, dia benar-benar bertekad untuk mengubah keadaanya menjadi jauh lebih baik. Bahkan di SMA nya pun, ketika teman-teman sekelasnya berbuat curang saat mengerjakan UTS maupun UAS, dengan cara yang menurutku waktu itu amat canggih, Azizah tetap berada melakukan hal yang benar sekalipun perasaan sakit hati oleh perbuatan teman-temannya itu seringkali menganggu fokus belajarnya.

“Nah sedikit banyak itulah Ay, cerita masa kecil dari aku. Percuma Ay kalau ortu kita kaya banget secara harta tapi ngga punya waktu buat anak-anaknya mah, gak bisa dibilang sukses. Anak kan amanah dari Allah untuk dididik dan diajarkan dengan kebaikan, ditanamkan dari kecil pemahaman yang baik, dikenalkan dengan Islam, dan yang terpenting adalah gimana orangtua tersebut bisa mengelola egonya terhadap dunia untuk bisa lebih banyak perhatian kepada anak-anaknya. Itu sih Ay.”

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kalian akan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang raja adalah pemimpin, seorang suami pun adalah pemimpin atas keluarganya, dan istri juga merupakan pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” (HR. An-Nasa’i dalam ‘Isyaratun Nisaa’ no 292)

Dari kisah Azizah tersebut, saya mempelajari bahwa ada tanggung jawab besar dipundak para laki-laki yang hendak menjadi ayah. Sebagai pemimpin keluarga, ada banyak hal yang perlu dikorbankan dan dipersiapkan. Hal itu terbukti dari langkah yang diambil oleh ayah temanku ini, dan mungkin bahkan, ayahku sendiri. Memang benar ya, kecenderungan anak-anak perempuan lebih dekat kepada Ayahnya, dan anak laki-laki cenderung lebih dekat dengan ibunya. Sedikit mengutip perkataan dari Nouman Ali Khan, “berbincanglah dengan anak perempuanmu, bermainlah dengan anak lelakimu. Kamu perlu menjadi sahabat terbaik bagi mereka.”

“Hal penting yang perlu didengarkan oleh anak-anak kita pada zaman ini adalah do’a orang tua mereka untuk kemudahan dan kesuksesan putra-putrinya. Ini adalah sebab datangnya taufik, ketenangan dan bertambahnya cinta dan kasih sayang anak pada orangtua.” , itulah yang dikatakan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, seorang ulama dari Arab Saudi.

**

Ku matikan kamera DSLR dengan senyum yang terus mengembang. Melihat tingkah keluarga kecil tersebut, semakin menambah kesyukuran serta harapanku untuk semua muslim dan muslimah. Semoga ketika Allah menakdirkan tiap-tiap dari kia untuk menjadi orangtua, jangan pernah lupa, bahwa kita, khususnya Muslimah adalah madrasatul ulaa (sekolah pertama) bagi anak-anak kita. Terus semangat menuntut ilmu. Setinggi apapun studi kita nanti, kita akan tetap kembali menjadi seorang pendidik dan pengurus rumah tangga.

         Yang membedakan, karena keilmuan kita, terlebih ketika kita dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, semoga itu semakin menambah kecerdasan dalam mendidik anak-anak kita kelak untuk menjadi sebaik-baiknya manusia dengan sebesar-besarnya kebermanfaatan bagi agama maupun bagi ummat. Insya allah. Wallahu ‘alam bi shawab.

Ayu Saraswati
Bandung, 27 Mei 2017
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah