Aku Masih Gadis Kecilnya Bapak
“Ay, kadieu (Ay, kesini)…” , panggil bapak tiba-tiba ketika aku sedang asyik bermain dengan teman-teman rumahku.
“Aya naon, Pak? Nya, sakedap (Ada
apa, Pak? Iya, sebentar).” , jawabku sambil sedikit enggan dan terpaksa
meninggalkan teman-temanku. Langkahku lama kelamaan dipercepat, aku tak sabar
dengan panggilan bapak tersebab hari itu adalah hari istimewa bagiku, hari
peringatan kelahiranku yang ke-7.
“Dieu Ay, calik didieu. (Sini Ay,
duduk disini).” , bapak membuka lebar tubuhnya dan membiarkanku duduk diatas
pangkuannya.
“Hmm? Aya naon ih Pak, Ayu nuju
ameng (Hmm? Ada apa ih Pak, Ayu lagi main)…”
“Baca ieu (Baca ini)…” , bapak
memperlihatkan buku agendanya kepadaku, buku agenda yang sudah jadi buku diari
bapak sejak tahun 90’an. Bapak memang senang menulis sejak dahulu, segala yang
dipikirkan dan dirasakan dituangkan olehnya menjadi sebuah sajak dan prosa
berbahasa sunda maupun Indonesia. Mungkin ini menjadi sebab mengapa sejak SD aku menyukai kegiatan menulis dan membaca, karena kebiasaanku yang melihat bapak
senang membaca dan menulis di rumah.
Wajahku malu-malu dan sumringah yang
tertahan, aku selalu enggan jika menampakkan ekspresi yang terlalu bahagia jika
dihadapan orangtua, haha. Aneh memang, dahulu aku cukup tertutup jika urusan
perasaan, terlebih perasaan ‘negatif’ dengan orangtua. Jika aku sedang sedih,
aku tak pernah menyampaikannya kepada orangtua. Aku lebih memilih menangis
ketika saat itu terjadi atau menyimpannya sendiri. Pun ketika aku marah, karena
dijaili atau diperlakukan tidak baik oleh teman sekolah, aku tak pernah
mengadu. Aku bertindak sesuai kemauanku, jika aku marah kepada teman-temanku,
aku akan marah sendiri melalui ocehan serta perilakuku. Pernah, dahulu, saking
aku kesal dan marah oleh seorang teman, aku mengejar temanku itu sampai ke
rumahnya sambil membawa sebongkah batu cukup besar untuk ukuran genggaman
tangan anak kecil, kemudian melemparkannya ke temanku itu. Temanku sampai takut
sekali, padahal dia adalah seorang laki-laki. Karena batunya tidak mengenai
temanku, akhirnya aku mengambil kembali batunya dan melemparkannya ke jendela
rumahnya. Beruntungnya tidak sampai pecah, haha.. kejam sekali kalau
dipikir-dipikir dulu itu, :’D temanku sampai sembunyi dibalik tubuh ibunya
ketika muncul suara keras dari jendela kaca rumahnya.
Yah, sedikit nostalgia. Kemudian
untuk perasaan senang, terkadang aku bercerita pada orangtuaku. Misal ketika
aku mendapatkan nilai baik di sekolah, ranking anu, juara anu, dikasih uang
oleh seseorang, yah kesenangan-kesenangan anak-anak kecil aku cenderung
cerewet. Hehe.
“Ieu naon pak? Puisi? Teu ngartos
ayu mah da basa sunda ieu mah, (Ini apa Pak? Puisi? Ngga ngerti Ayu mah karena
ini Bahasa sunda)..’ , kataku sambil masih malu-malu karena menyadari bahwa
sepertinya puisi ini adalah puisi hadiah khusus untuk ulangtahunku yang ke-7.
“Cik baca heula atuh,… baca we
sabisana Ayu. (Ayo baca dulu aja, baca sebisanya Ayu)..” , bapak memegang buku agendanya dihadapanku, agar aku mudah
membacanya. Aku masih duduk dipangkuan bapak, di sebuah rumah kontrakan
sederhana milik uwaku.
“Nya… ehm….” , aku pun mulai
membacanya.
Bagea Ratu..
Na wilangan taun ka
tujuh
Cageur bageur mugi
sing mereaweuhan
Bener pinter
panganteur pikeun nanjeur
Bagea geulis..
Na wilangan taun ka
tujuh
Harepan aya dina
leungeun anjeun
Ngaronjatna darajat
eta wasiat
Salila kumeleudang
di ieu jagat
Bagea nu manis..
Na wilangan taun ka
tujuh
Jung lumaku masing
luyu
Jeung aturan anu
tangtu
Bral lumampah ulah
rek salah
Dina mancen gawe
jeung ibadah
Bagea anaking..
Na wilangan taun ka
tujuh
Kembang soca
mustikaning ati
Harepan indung
jeung bapa.
“Naon artina ieu teh Pak? (Apa ini
tuh artinya Pak?).” , kataku seusai membaca sajak itu. Walaupun aku orang Sunda
asli, untuk bahasa-bahasa sastra aku masih belum mengetahui artinya saat itu,
hehe. Untuk sekarang pun, aku tak begitu tahu arti perkatanya, tapi aku paham
maksud perkataan itu apa. Jadi kalau sekarang pembaca ingin tahu artinya, aku
agak sulit menyampaikannya hehehe ^^v maafkan. Tapi aku paham, bahkan lebih
paham saat ini ketika usiaku 20 tahun. Saat mengetik sajak itu, rasanya ingin
nangis, terharu banget. Kalau ada
pembaca yang ngerti sama maksud sajak ini, wah, aku ucapkan, selamat merenung….
^^-
Bapak menjelaskan tentang maksud
dari sajak diatas dengan penjelasan yang amat jelas, aku mendengarkan dengan
seksama, aku malu untuk mengucap terima kasih saat itu, yang bisa ku lakukan
saat itu adalah lompat dari dekapan bapak sambil cengengesan, “Hehehehe…. Oh kitu,
nya atos Ayu ameng deui nyak Pak. Hehe. (Oh begitu, yaudah Ayu main lagi ya
Pak. Hehe.).” , aku langsung berlari ke lapangan dekat rumah, memanggil
teman-temanku untuk kembali bermain. Sambil muka ini makin merona bahagia,
ternyata Bapak sebegitu romantisnya dengan anaknya sendiri, hehe….
Bapak ditahun 1996 |
*
Sebetulnya, aku ingin menulis
tentang Bapak sejak akhir April lalu. Dimana saat itu, tepat tanggal 30 April
adalah hari bertambahnya usia Bapak yang ke-46. Tak ada tradisi perayaan dari
keluarga kecil kami, hanya diam-diam mengetahui kemudian mendo’akan.
Aku masih ingat suatu momen, dimana
saat itu aku masih TK, Bapak adalah orang pertama yang mengajarkanku Bahasa
Inggris. Melalui buku cerita anak-anak yang tak berjilid, kertas-kertasnya
berwarna kuning saking sudah tuanya, aku membaca sebuah kisah tentang seorang
anak Raja, yakni seorang putri yang manja, yang meminta dibuatkan kalung dari air mata. Sesuatu yang hampir mustahil, diminta dengan begitu kerasnya kepada
ayahnya, sang Raja. Aku lupa kelanjutannya bagaimana haha, tapi buku itu masih
ada sampai saat ini :’) , entah siapa penulisnya, ada banyak nama penulisnya.
Mungkin itu sebuah buku kumpulan cerpen, hehe. Aku mulai membaca satu kata ke
kata yang lain, sebisaku saja, kata Bapak. Setelah satu kalimat selesai, baru
disana Bapak membetulkan pelafalanku dan menerjemahkannya supaya aku bisa
mengerti jalan ceritanya.
Ayu saat sebelum TK, kalau tidak salah hehe |
Disebuah ruangan yang tak lebih dari
3 meter itu, kamar yang biasa aku dan orangtuaku tempati, menjadi saksi bisu
sekeping momen ini. Setelah usai belajar membaca Bahasa Inggris, bapak memasak
mie instan yang digoreng didalam wajan berisi minyak goreng, kemudian jika
sudah matang, diremas dan diberi bumbu. Aku dan bapak menyantapnya dengan
sepiring nasi untuk dimakan berdua. Makanan berupa mie itu, bisa dibilang
merupakan makanan bersejarah dalam hidupku hehe. Bagaimana tidak? Selalu ada
cerita dibalik mie instan tersebut. Dahulu, aku sangat senang memakan mie
instan indom*e rasa soto untuk digoreng ^^ bukan direbus, hehe. Kemana mama
saat itu? Kalau tidak salah, mama sedang sibuk mengurus adikku yang masih
balita. Jadi tugas mama saat aku masih TK adalah memandikanku, menyuapiku
makan, membantu mempersiapkan untukku sekolah, diantarkan ke TK/RA,
menggambarkanku sebuah bunga beserta pot nya, karena kebetulan aku senang
sekali mewarnai saat itu, hingga dari hobiku itu dahulu pernah menjuarai lomba
Mewarnai tingkat TK se-Jawa Barat di posisi pertama. Itu pun tidak terlepas
dari peran bapak yang selalu mengajariku cara mewarnai yang benar dan baik. Karena
kebetulan, bapak sangat senang melukis di rumah. Bapak selalu dapat orderan
untuk melukis diatas kanvas sebagai pajangan di rumah-rumah, atau melukis di
jendela-jendela rumah yang baru dibangun.
Pun berkat pelatihan membaca Bahasa
Inggris itu, aku ditunjuk oleh guru RA saat itu menjadi pembawa acara disebuah
acara buka puasa bersama anak-anak RA Qurrata A’yun yang bertempat di Cijambe
yang dimana saat membawakan acara aku harus berbahasa Inggris yang dihafal,
wkwk. Terbawa hingga ke bangku SD, SMP dan SMA yang Alhamdulillah nilai Bahasa
Inggrisku tak pernah dibawah KKM. Pernah juga, di TPA Madrasah dekat rumah, aku
bersama teman-teman membawakan pidato bebahasa Inggris dan Arab untuk
ditampilkan saat milad Masjid An-Nadzariyah, di MA diikut sertakan untuk
mengikuti lomba pidato berbahasa Inggris. Semua itu tak pernah lepas dari
pelatihan serta pengajaran Bapak di rumah. Khususnya dibidang bahasa ini. Tak
hanya bahasa Inggris, bapak melatihku untuk bisa menulis dan menggambar. Entah
itu puisi, prosa, cerpen, gambar kartun atau realis, aku seperti terikuti
alirannya. Tanpa sadar aku selalu belajar apapun dari bapak. Dari cara menulis,
waktu menulis, gaya menulis, gaya menggambar, benar-benar deh. Aku baru sadar
ternyata. Sebab itu, tak heran saat SD, SMP maupun SMA, aku selalu tertarik
untuk mengikuti lomba sinopsis, lomba menulis puisi, menulis essay, tapi untuk
lomba menggambar, aku selalu tak enggan dan cenderung tidak pede hehe. Kenapa?
Aku berpikir untuk gambar itu tak perlu dikompetisikan, cukup jadi hobi yang
dinikmati. Hehe (alasan aja gambarnya gak bagus wkwkwk). Diluar itu semua, bapak adalah orang yang pertama kali mengajarkanku baca tulis Qur'an. Bapak sering mengajakku ke masjid sejak aku kecil. Saat balita, aku senang digandeng oleh sepupuku, Winda untuk mengaji di TPA walau saat itu aku tidak bisa apa-apa. Tapi dari ajaran bapak ini, berhasil membuatku mengenal masjid untuk pertama kalinya. Dari masjid jugalah menjadi titik kritis masa pertumbuhan dan perkembanganku hingga SMA.
Ayu di usia berapa ya hehe, entah 5 atau 6 tahun. |
**
Bapak tak pernah membelikanku
apa-apa, bahkan ketikapun aku berulangtahun yang ke-6 saat itu. Aku ngotot
sekali ingin diberikan hadiah, dibelikan sesuatu, aku melihat teman-temanku
selalu diberikan sesuatu saat mereka ulangtahun, tapi bapak? Jarang sekali
memberiku hadiah, Saat balita hingga kelas 1 SD, aku hanya selalu mendapatkan
roti kartika s*ri pemberian bos nya bapak seusai kerja. Atau satu renteng
nutris*ri, susu danc*w, mie indo*ie, yah berupa sesuatu yang bisa dimakan
pokoknya, bukan sesuatu yang bersifat aseseoris, atau barang tersier. Sampai
aku rewel, akhirnya bapak mengajakku bermain ke Cicaheum, naik angkot berdua,
disiang yang amat terik waktu itu.
Ada yang menarik, sejak dahulu
hinggapun saat ini, aku selalu tak kuat berlama-lama naik mobil. Entah itu
angkot maupun bis. Oleh karena itu, saat perjalanan menuju Cicaheum, di angkot
aku hanya tidur, tidur dipangkuan bapak. Setelah sampai, diajaknya aku berjalan-jalan
disebuah pasar. Ya, pasar. Barangkali bapak ingin memberikanku mainan. Aku senang
sekali waktu itu. Aku menunjuk sebuah mainan, dimana itu adalah sebuah boneka Barbie
dengan meja dan kursi empat buah, diatasnya sedang duduk para Barbie cilik,
seperti sedang mengadakan pesta minum teh. Aku sedikit merengek, bapak
menanyakan ke penjual tersebut berapa harganya. Entah apa yang dibicarakan
mereka, bapak segera mengajakku pergi. Tanganku digandeng, walau wajahku masih
menghadap ke belakang, masih menatap boneka Barbie itu.
Lalu karena membeli Barbie tak
diperbolehkan, akhirnya aku meminta dibelikan majalah Bobo. Majalah bobo yang
baru, bukan yang bekas seperti yang dijual si mang gendut di sekitaran SD ku. Bapak
mencoba mencari majalah Bobo di tukang buku pinggir jalan, tetapi entah kenapa
Bapak tidak jadi membeli dan malah mengajakku pulang. Aku menangis saat itu dan
tidak mau diajak berjalan, bapak terus membujukku dan diiming-imingi akan
dibelikan sesuatu yang lain nanti di rumah. Dengan sisa air mata di mata, aku
menuruti kata bapak dan akhirnya kami pulang ke rumah. Di rumah bapak langsung
membuat makanan, aku lupa entah apa itu, yang pasti sejenis makanan buatan
bapak. Spesial katanya, untuk hadiah ulang tahun anak perempuan pertamanya.
Sejak dahulu, bapak tak pernah
memanjakanku. Memberiku sesuatu yang sifatnya apa ya, tak begitu penting untuk
dimiliki. Untuk boneka pun, aku hanya punya satu seumur hidup. Ya, boneka
beruang ini. Hehe.
Ayu (2 thn) dan boneka beruang |
Kata
bapak pun, aku termasuk anak perempuan yang tak begitu suka benda-benda
keperempuanan, atau baju yang kesannya girly. Entah darimana itu, wkwk. Katanya
pun, ketika kami berwisata ke TMII, baju ini, adalah yang aku pilih sendiri
lengkap dengan topinya. Jika dilihat, rasanya kok seperti anak laki-laki hehe.
Akhirnya
pun, aku di cap tomboy oleh teman-teman SMP dan SMA sampai aku hijrah dan
menggunakan jilbab dan khimar panjang. Teman bermainku didominasi oleh
laki-laki, permainan yang sering kami mainkan pun banyak berhubungan dengan
fisik. Seperti bermain sepak bola, main galah, main karet, main petak umpet,
main benteng-bentengan, polisi-polisian, main ‘bancakan, main ‘boy-boyan’, haha…
indah sekali masa itu. ^^ masa dimana belum mengenal gadget, hanya tahu komputer
penitum 1 entah 2 wkwk. Bermain dari pagi hari sampai sore hari tanpa lelah. Mau
capek mau lapar, tetap bermain. Entah, aku termasuk anak yang aktif dan senang
bermain diluar rumah. Tak betah sejampun kalau waktu luang ada di rumah. Pakaianku
dahulu jarang sekali menggunakan rok. Berantem dengan teman laki-laki pun sudah
biasa, bermain kejar-kejaran pun bisa bilang aku menyaingi mereka, haha, efek
dari situ, dan mata pelajaran olahraga di SMP ku dahulu, yang seringkali
diagendakan untuk lari 5-10 keliling ke Pasir Jati (daerah menanjak dan turun,
karena kebetulan SMP ku agak dekat dengan daerah perbukitan maupun pegunungan),
dengan kebiasaan pulang pergi ke sekolah jalan kaki, saat SMA aku sempat jadi
perwakilan sekolah untuk ikut olimpiade olahraga dibidang atletik, ya lari 400
meter kalau tidak salah, untuk menjadi perwakilan dari kota Bandung ditingkat
olimpiade se-Jawa Barat nanti. Sayangnya, aku berada di posisi ketiga saat itu.
Dan peserta yang diambil oleh kota Bandung hanya 2 saja, nyaris memang. Oleh
karena itu, jalanku untuk menjadi seorang atlit, gugur sudah wkwk. Wajar saja
sih, tinggiku hanya kisaran 145 cm saat itu, sedangkan lawanku, 155 cm keatas,
langkah kaki mereka lebar, jika ditambah dengan kecepatan yang mumpuni, mantap
sudah! Wkwkwk
Yah rencana Allah selalu indah, jika
saat itu aku lolos, mungkin keinginanku untuk menjadi atlit semakin membuncah,
lalu kesempatan serta keharusanku untuk menggunakan jilbab sehari-hari bisa
terputus karena hal tersebut, atau mungkin aku sering berada dalam dilema. Haha.
***
Peralihan SMP ke SMA, aku
mendapatkan sebuah pengajaran dan pengalaman berharga dari bapak. Cukup memalukan
juga sih, pasalnya, bapak mengajarkanku cara makan, cara berpakaian, cara
bersikap dan cara merawat diri sebagai perempuan :’D . Saat itu bapak agak
keras mengajarkanku, takut kelewat tomboy katanya, bagaimana cara makan, kami
praktikan saat makan. Posisi badan harus tegap, kaki kiri dilipat, kaki kanan
ditekuk ke perut, makan nunduk ke bawah terus, jangan sambil nonton TV, jangan
duduk bersila, jangan sambil bicara, yah semacam itu hehe. Untuk berpakaian,
bapak menyarankan aku untuk pakai rok, jangan pakai celana levis terus, jangan
pakai yang ngepas ke badan juga. Lalu jangan meninggikan suara kalau bicara,
jangan teriak-teriak, kalau ada tamu di rumah tugasnya apa, harus bawain air
kan ya? Hehe. Dsb deh, banyak banget. Kemudian untuk merawat diri, seringkali
aku diomeli ketika sehabis mandi jika tidak benar mengeringkan rambutnya. Bapak
selalu memberi contoh, sambil membawa handuk lain, bapak menggosok-gosokan kain
handuk ke rambutku, mengeringkannya dengan waktu sekian menit. Lantas bapak
menyarankan aku untuk sering menyisir rambut, biar bagus nanti rambutnya (btw
dulu masih jaman belum pake kerudung yak, hehe), ngga bercabang, tebal dan
halus. Dan terbukti, dulu banyak sekali orang yang menginginkan rambut
sepertiku wkwkwk. Bapak tidak pernah menyarankanku untuk berdandan, sama sekali
tidak. Bapak lebih peduli kepada kebersihan dan kerapihan dibandingkan
keindahan atau kecantikan ‘buatan’, baginya itu tidak masalah. Asal bersih,
semua baik.
Alhamdulillah, sejak menginjak SMA
kelas 2 hingga detik ini, aku tidak pernah melupakan pengajaran bapak. Sebetulnya
masih banyak sekali momen bersama bapak, pelajaran dari bapak, dan pengalaman
dengan bapak. Namun tampaknya tulisan ini sudah kian memanjang sampai 5 halaman
ms. Word hehe, khawatirnya pembaca jenuh jadinya ^^- hehe.. mungkin dilain
kesempatan aku bisa menceritakan lebih banyak soal bapak. Soal masa mudanya,
soal perjuangannya menikahi mama, soal pengorbanannya untuk keluarga besarnya
(termasuk adik-adiknya), dan soal didikannya untuk kedua anaknya, terutama
untukku sebagai anak pertama di keluarga kecil ini.
Ayu dan adikku, Fajar |
Aku dan saudara-saudara dari keluarga Bapak |
Bapak kini sudah tidak muda lagi. Sudah
mudah merasa sakit atau kelelahan walaupun aku tahu semua itu tak pernah
dirasakannya. Berjalan begitu saja, karena sadar akan kewajibannya sebagai
seorang kepala keluarga. Bapak, walaupun pekerja swasta di sebuah PT, bapak
memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang guru mengaji di TPA, seorang buruh
atau mungkin freelance yang sering diminta untuk –menulis- , melukis, dan menggambar.
Kadangkala penjadi pelatih nasyid, maupun pidato. Bapak sangat senang dengan
seni. Darah seninya didapat dari emak dan aki (orangtuanya bapak). Oh ya selain
itu, bapak pun jago sekali dalam hal memasak maupun mencuci. Haha, mencuci? Ya
mencuci. Dalam memasak ataupun mencuci, beliau selalu memiliki metode khusus
dan unik. Tak heran hasil masakan beliau selalu enak, bahkan lebih enak dari
buatan mamaku sendiri. Katanya saat masih remaja dulu bapak sering bantu ibunya membuat kue atau jajanan, berupa gorengan, seperti onde-onde, cireng, dsb. Saat itu keluarga bapak dikenal luas oleh warga Cijambe sebagai pedagang yang sukses dibidang makanan ini, hehe. Hasil mencucinya pun, bersih banget. Beneran deh hehe. Baik
itu baju maupun piring-piring. Dalam hal lipat melipat baju, eh atau bahkan
semua pekerjaan rumah tangga beliau sangat bisa. Aku heran, laki-laki kok
sejago itu ya. Aku jadi malu, wkwk. Tidak mau kalah dari bapak, aku ingin
berlatih semua pekerjaan rumah tangga itu untuk bekalku nanti (uhuk!). Ya ya ya
walau itu masih agak lama sepertinya haha -,- (santai aja, mas mbak).
Bapak masih ditahun 1996 |
Terakhir, aku ingat bapak pernah
mengatakan hal ini ketika aku berada dalam titik terendah dalam hidup yang
pertama kali aku alami.
“Bapak tahu kok, Ayu bukan tipe
saintis. Ayu anak sosial, anak IPS. Tapi, tahu gak kenapa Allah menempatkan Ayu
di ITB saat ini?, Allah tuh ingin memberi sebuah keajaiban. Allah ingin membuktikan
bahwa Ayu yang segini aja BISA. Udah, tenang aja. Seringkali bukan besarnya
gunung yang membuat kita tersandung, tapi karena kecilnya kerikil yang membuat
kita tergelincir. La takhaf wa la tahzan, innallaha ma’ana.”
….
Dalam
diam pun, pernah aku menangis didepan bapak karena aku tak tahan
menyembunyikannya lagi. Saat laporan praktikum belum selesai, ada kuis belum
sempat belajar, besoknya ada ujian, ada amanah ini itu, Ya Rabb, pokoknya lagi lalieur saat itu tuh, bapak mengelus
kepalaku, sementara mama sedang mengomel, bapak mengatakan kembali, “Udah, yang kuat. Ayu bisa kok. Jangan nyerah
ditengah jalan. Hadapi aja, nikmati, ok?”
Lagi lagi aku membuatnya cemas,
cemas yang tak pernah ditunjukkan. Laki-laki memang begitu ya, dilahirkan untuk
memberi, dibesarkan untuk memimpin, dan dibersamai untuk mengukuhkan. Betapa Pak,
jika kelak ada yang datang kepadamu untuk memintaku, mohon tanyakan, apakah ia
bisa lebih baik dalam mendidikku daripadamu? Kemudian jika iya, mohon kukuhkan
keyakinannya untuk menjagaku dan membimbingku selalu untuk dijalanNya. Hingga
kelak, di surgalah pertemuan kedua kita setelah dunia ini.
Pak, aku masih gadis kecilmu kan? gadis kecil yang kau saksikan mulai mendewasa. Walaupun begitu, aku masih membutuhkan banyak dampingan serta arahan. Kau pasti tahu itu, bukan?
Pak, sehat selalu ya.
Semoga Allah menjagamu dengan penuh dekapan. :')
Barakallahu ‘alayk, Bapak~
Semoga Allah menjagamu dengan penuh dekapan. :')
Barakallahu ‘alayk, Bapak~
Rasulullah Saw ditanya
tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah
(yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Rasulullah Saw ditanya
tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah
(yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Rasulullah SAW ditanya tentang peranan kedua orangtua. Lalu beliau menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)
Syukur
tiada henti ku panjatkan, karena aku anak gadismu.
Bapak dan Ayu (1,5 thn) |
Ayu
Saraswati
Bandung,
7 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar