Aku Masih Gadis Kecilnya Bapak


            “Ay, kadieu (Ay, kesini)…” , panggil bapak tiba-tiba ketika aku sedang asyik bermain dengan teman-teman rumahku.
 
            “Aya naon, Pak? Nya, sakedap (Ada apa, Pak? Iya, sebentar).” , jawabku sambil sedikit enggan dan terpaksa meninggalkan teman-temanku. Langkahku lama kelamaan dipercepat, aku tak sabar dengan panggilan bapak tersebab hari itu adalah hari istimewa bagiku, hari peringatan kelahiranku yang ke-7.

            “Dieu Ay, calik didieu. (Sini Ay, duduk disini).” , bapak membuka lebar tubuhnya dan membiarkanku duduk diatas pangkuannya.

            “Hmm? Aya naon ih Pak, Ayu nuju ameng (Hmm? Ada apa ih Pak, Ayu lagi main)…”

            “Baca ieu (Baca ini)…” , bapak memperlihatkan buku agendanya kepadaku, buku agenda yang sudah jadi buku diari bapak sejak tahun 90’an. Bapak memang senang menulis sejak dahulu, segala yang dipikirkan dan dirasakan dituangkan olehnya menjadi sebuah sajak dan prosa berbahasa sunda maupun Indonesia. Mungkin ini menjadi sebab mengapa sejak SD aku menyukai kegiatan menulis dan membaca, karena kebiasaanku yang melihat bapak senang membaca dan menulis di rumah.

            Wajahku malu-malu dan sumringah yang tertahan, aku selalu enggan jika menampakkan ekspresi yang terlalu bahagia jika dihadapan orangtua, haha. Aneh memang, dahulu aku cukup tertutup jika urusan perasaan, terlebih perasaan ‘negatif’ dengan orangtua. Jika aku sedang sedih, aku tak pernah menyampaikannya kepada orangtua. Aku lebih memilih menangis ketika saat itu terjadi atau menyimpannya sendiri. Pun ketika aku marah, karena dijaili atau diperlakukan tidak baik oleh teman sekolah, aku tak pernah mengadu. Aku bertindak sesuai kemauanku, jika aku marah kepada teman-temanku, aku akan marah sendiri melalui ocehan serta perilakuku. Pernah, dahulu, saking aku kesal dan marah oleh seorang teman, aku mengejar temanku itu sampai ke rumahnya sambil membawa sebongkah batu cukup besar untuk ukuran genggaman tangan anak kecil, kemudian melemparkannya ke temanku itu. Temanku sampai takut sekali, padahal dia adalah seorang laki-laki. Karena batunya tidak mengenai temanku, akhirnya aku mengambil kembali batunya dan melemparkannya ke jendela rumahnya. Beruntungnya tidak sampai pecah, haha.. kejam sekali kalau dipikir-dipikir dulu itu, :’D temanku sampai sembunyi dibalik tubuh ibunya ketika muncul suara keras dari jendela kaca rumahnya.

            Yah, sedikit nostalgia. Kemudian untuk perasaan senang, terkadang aku bercerita pada orangtuaku. Misal ketika aku mendapatkan nilai baik di sekolah, ranking anu, juara anu, dikasih uang oleh seseorang, yah kesenangan-kesenangan anak-anak kecil aku cenderung cerewet. Hehe.

            “Ieu naon pak? Puisi? Teu ngartos ayu mah da basa sunda ieu mah, (Ini apa Pak? Puisi? Ngga ngerti Ayu mah karena ini Bahasa sunda)..’ , kataku sambil masih malu-malu karena menyadari bahwa sepertinya puisi ini adalah puisi hadiah khusus untuk ulangtahunku yang ke-7.

            “Cik baca heula atuh,… baca we sabisana Ayu. (Ayo baca dulu aja, baca sebisanya Ayu)..” , bapak memegang  buku agendanya dihadapanku, agar aku mudah membacanya. Aku masih duduk dipangkuan bapak, di sebuah rumah kontrakan sederhana milik uwaku.

            “Nya… ehm….” , aku pun mulai membacanya.

Bagea Ratu..
Na wilangan taun ka tujuh
Cageur bageur mugi sing mereaweuhan
Bener pinter panganteur pikeun nanjeur

Bagea geulis..
Na wilangan taun ka tujuh
Harepan aya dina leungeun anjeun
Ngaronjatna darajat eta wasiat
Salila kumeleudang di ieu jagat

Bagea nu manis..
Na wilangan taun ka tujuh
Jung lumaku masing luyu
Jeung aturan anu tangtu
Bral lumampah ulah rek salah
Dina mancen gawe jeung ibadah

Bagea anaking..
Na wilangan taun ka tujuh
Kembang soca mustikaning ati
Harepan indung jeung bapa.

            “Naon artina ieu teh Pak? (Apa ini tuh artinya Pak?).” , kataku seusai membaca sajak itu. Walaupun aku orang Sunda asli, untuk bahasa-bahasa sastra aku masih belum mengetahui artinya saat itu, hehe. Untuk sekarang pun, aku tak begitu tahu arti perkatanya, tapi aku paham maksud perkataan itu apa. Jadi kalau sekarang pembaca ingin tahu artinya, aku agak sulit menyampaikannya hehehe ^^v maafkan. Tapi aku paham, bahkan lebih paham saat ini ketika usiaku 20 tahun. Saat mengetik sajak itu, rasanya ingin nangis, terharu banget. Kalau ada pembaca yang ngerti sama maksud sajak ini, wah, aku ucapkan, selamat merenung…. ^^-

            Bapak menjelaskan tentang maksud dari sajak diatas dengan penjelasan yang amat jelas, aku mendengarkan dengan seksama, aku malu untuk mengucap terima kasih saat itu, yang bisa ku lakukan saat itu adalah lompat dari dekapan bapak sambil cengengesan, “Hehehehe…. Oh kitu, nya atos Ayu ameng deui nyak Pak. Hehe. (Oh begitu, yaudah Ayu main lagi ya Pak. Hehe.).” , aku langsung berlari ke lapangan dekat rumah, memanggil teman-temanku untuk kembali bermain. Sambil muka ini makin merona bahagia, ternyata Bapak sebegitu romantisnya dengan anaknya sendiri, hehe….
Bapak ditahun 1996


*

            Sebetulnya, aku ingin menulis tentang Bapak sejak akhir April lalu. Dimana saat itu, tepat tanggal 30 April adalah hari bertambahnya usia Bapak yang ke-46. Tak ada tradisi perayaan dari keluarga kecil kami, hanya diam-diam mengetahui kemudian mendo’akan.

            Aku masih ingat suatu momen, dimana saat itu aku masih TK, Bapak adalah orang pertama yang mengajarkanku Bahasa Inggris. Melalui buku cerita anak-anak yang tak berjilid, kertas-kertasnya berwarna kuning saking sudah tuanya, aku membaca sebuah kisah tentang seorang anak Raja, yakni seorang putri yang manja, yang meminta dibuatkan kalung dari air mata. Sesuatu yang hampir mustahil, diminta dengan begitu kerasnya kepada ayahnya, sang Raja. Aku lupa kelanjutannya bagaimana haha, tapi buku itu masih ada sampai saat ini :’) , entah siapa penulisnya, ada banyak nama penulisnya. Mungkin itu sebuah buku kumpulan cerpen, hehe. Aku mulai membaca satu kata ke kata yang lain, sebisaku saja, kata Bapak. Setelah satu kalimat selesai, baru disana Bapak membetulkan pelafalanku dan menerjemahkannya supaya aku bisa mengerti jalan ceritanya.

Ayu saat sebelum TK, kalau tidak salah hehe


            Disebuah ruangan yang tak lebih dari 3 meter itu, kamar yang biasa aku dan orangtuaku tempati, menjadi saksi bisu sekeping momen ini. Setelah usai belajar membaca Bahasa Inggris, bapak memasak mie instan yang digoreng didalam wajan berisi minyak goreng, kemudian jika sudah matang, diremas dan diberi bumbu. Aku dan bapak menyantapnya dengan sepiring nasi untuk dimakan berdua. Makanan berupa mie itu, bisa dibilang merupakan makanan bersejarah dalam hidupku hehe. Bagaimana tidak? Selalu ada cerita dibalik mie instan tersebut. Dahulu, aku sangat senang memakan mie instan indom*e rasa soto untuk digoreng ^^ bukan direbus, hehe. Kemana mama saat itu? Kalau tidak salah, mama sedang sibuk mengurus adikku yang masih balita. Jadi tugas mama saat aku masih TK adalah memandikanku, menyuapiku makan, membantu mempersiapkan untukku sekolah, diantarkan ke TK/RA, menggambarkanku sebuah bunga beserta pot nya, karena kebetulan aku senang sekali mewarnai saat itu, hingga dari hobiku itu dahulu pernah menjuarai lomba Mewarnai tingkat TK se-Jawa Barat di posisi pertama. Itu pun tidak terlepas dari peran bapak yang selalu mengajariku cara mewarnai yang benar dan baik. Karena kebetulan, bapak sangat senang melukis di rumah. Bapak selalu dapat orderan untuk melukis diatas kanvas sebagai pajangan di rumah-rumah, atau melukis di jendela-jendela rumah yang baru dibangun.

            Pun berkat pelatihan membaca Bahasa Inggris itu, aku ditunjuk oleh guru RA saat itu menjadi pembawa acara disebuah acara buka puasa bersama anak-anak RA Qurrata A’yun yang bertempat di Cijambe yang dimana saat membawakan acara aku harus berbahasa Inggris yang dihafal, wkwk. Terbawa hingga ke bangku SD, SMP dan SMA yang Alhamdulillah nilai Bahasa Inggrisku tak pernah dibawah KKM. Pernah juga, di TPA Madrasah dekat rumah, aku bersama teman-teman membawakan pidato bebahasa Inggris dan Arab untuk ditampilkan saat milad Masjid An-Nadzariyah, di MA diikut sertakan untuk mengikuti lomba pidato berbahasa Inggris. Semua itu tak pernah lepas dari pelatihan serta pengajaran Bapak di rumah. Khususnya dibidang bahasa ini. Tak hanya bahasa Inggris, bapak melatihku untuk bisa menulis dan menggambar. Entah itu puisi, prosa, cerpen, gambar kartun atau realis, aku seperti terikuti alirannya. Tanpa sadar aku selalu belajar apapun dari bapak. Dari cara menulis, waktu menulis, gaya menulis, gaya menggambar, benar-benar deh. Aku baru sadar ternyata. Sebab itu, tak heran saat SD, SMP maupun SMA, aku selalu tertarik untuk mengikuti lomba sinopsis, lomba menulis puisi, menulis essay, tapi untuk lomba menggambar, aku selalu tak enggan dan cenderung tidak pede hehe. Kenapa? Aku berpikir untuk gambar itu tak perlu dikompetisikan, cukup jadi hobi yang dinikmati. Hehe (alasan aja gambarnya gak bagus wkwkwk). Diluar itu semua, bapak adalah orang yang pertama kali mengajarkanku baca tulis Qur'an. Bapak sering mengajakku ke masjid sejak aku kecil. Saat balita, aku senang digandeng oleh sepupuku, Winda untuk mengaji di TPA walau saat itu aku tidak bisa apa-apa. Tapi dari ajaran bapak ini, berhasil membuatku mengenal masjid untuk pertama kalinya. Dari masjid jugalah menjadi titik kritis masa pertumbuhan dan perkembanganku hingga SMA.

Ayu di usia berapa ya hehe, entah 5 atau 6 tahun.



**

            Bapak tak pernah membelikanku apa-apa, bahkan ketikapun aku berulangtahun yang ke-6 saat itu. Aku ngotot sekali ingin diberikan hadiah, dibelikan sesuatu, aku melihat teman-temanku selalu diberikan sesuatu saat mereka ulangtahun, tapi bapak? Jarang sekali memberiku hadiah, Saat balita hingga kelas 1 SD, aku hanya selalu mendapatkan roti kartika s*ri pemberian bos nya bapak seusai kerja. Atau satu renteng nutris*ri, susu danc*w, mie indo*ie, yah berupa sesuatu yang bisa dimakan pokoknya, bukan sesuatu yang bersifat aseseoris, atau barang tersier. Sampai aku rewel, akhirnya bapak mengajakku bermain ke Cicaheum, naik angkot berdua, disiang yang amat terik waktu itu.

            Ada yang menarik, sejak dahulu hinggapun saat ini, aku selalu tak kuat berlama-lama naik mobil. Entah itu angkot maupun bis. Oleh karena itu, saat perjalanan menuju Cicaheum, di angkot aku hanya tidur, tidur dipangkuan bapak. Setelah sampai, diajaknya aku berjalan-jalan disebuah pasar. Ya, pasar. Barangkali bapak ingin memberikanku mainan. Aku senang sekali waktu itu. Aku menunjuk sebuah mainan, dimana itu adalah sebuah boneka Barbie dengan meja dan kursi empat buah, diatasnya sedang duduk para Barbie cilik, seperti sedang mengadakan pesta minum teh. Aku sedikit merengek, bapak menanyakan ke penjual tersebut berapa harganya. Entah apa yang dibicarakan mereka, bapak segera mengajakku pergi. Tanganku digandeng, walau wajahku masih menghadap ke belakang, masih menatap boneka Barbie itu. 

            Lalu karena membeli Barbie tak diperbolehkan, akhirnya aku meminta dibelikan majalah Bobo. Majalah bobo yang baru, bukan yang bekas seperti yang dijual si mang gendut di sekitaran SD ku. Bapak mencoba mencari majalah Bobo di tukang buku pinggir jalan, tetapi entah kenapa Bapak tidak jadi membeli dan malah mengajakku pulang. Aku menangis saat itu dan tidak mau diajak berjalan, bapak terus membujukku dan diiming-imingi akan dibelikan sesuatu yang lain nanti di rumah. Dengan sisa air mata di mata, aku menuruti kata bapak dan akhirnya kami pulang ke rumah. Di rumah bapak langsung membuat makanan, aku lupa entah apa itu, yang pasti sejenis makanan buatan bapak. Spesial katanya, untuk hadiah ulang tahun anak perempuan pertamanya.

            Sejak dahulu, bapak tak pernah memanjakanku. Memberiku sesuatu yang sifatnya apa ya, tak begitu penting untuk dimiliki. Untuk boneka pun, aku hanya punya satu seumur hidup. Ya, boneka beruang ini. Hehe.

Ayu (2 thn) dan boneka beruang


Kata bapak pun, aku termasuk anak perempuan yang tak begitu suka benda-benda keperempuanan, atau baju yang kesannya girly. Entah darimana itu, wkwk. Katanya pun, ketika kami berwisata ke TMII, baju ini, adalah yang aku pilih sendiri lengkap dengan topinya. Jika dilihat, rasanya kok seperti anak laki-laki hehe. 

 
Ayu (5 thn) di TMII

Akhirnya pun, aku di cap tomboy oleh teman-teman SMP dan SMA sampai aku hijrah dan menggunakan jilbab dan khimar panjang. Teman bermainku didominasi oleh laki-laki, permainan yang sering kami mainkan pun banyak berhubungan dengan fisik. Seperti bermain sepak bola, main galah, main karet, main petak umpet, main benteng-bentengan, polisi-polisian, main ‘bancakan, main ‘boy-boyan’, haha… indah sekali masa itu. ^^ masa dimana belum mengenal gadget, hanya tahu komputer penitum 1 entah 2 wkwk. Bermain dari pagi hari sampai sore hari tanpa lelah. Mau capek mau lapar, tetap bermain. Entah, aku termasuk anak yang aktif dan senang bermain diluar rumah. Tak betah sejampun kalau waktu luang ada di rumah. Pakaianku dahulu jarang sekali menggunakan rok. Berantem dengan teman laki-laki pun sudah biasa, bermain kejar-kejaran pun bisa bilang aku menyaingi mereka, haha, efek dari situ, dan mata pelajaran olahraga di SMP ku dahulu, yang seringkali diagendakan untuk lari 5-10 keliling ke Pasir Jati (daerah menanjak dan turun, karena kebetulan SMP ku agak dekat dengan daerah perbukitan maupun pegunungan), dengan kebiasaan pulang pergi ke sekolah jalan kaki, saat SMA aku sempat jadi perwakilan sekolah untuk ikut olimpiade olahraga dibidang atletik, ya lari 400 meter kalau tidak salah, untuk menjadi perwakilan dari kota Bandung ditingkat olimpiade se-Jawa Barat nanti. Sayangnya, aku berada di posisi ketiga saat itu. Dan peserta yang diambil oleh kota Bandung hanya 2 saja, nyaris memang. Oleh karena itu, jalanku untuk menjadi seorang atlit, gugur sudah wkwk. Wajar saja sih, tinggiku hanya kisaran 145 cm saat itu, sedangkan lawanku, 155 cm keatas, langkah kaki mereka lebar, jika ditambah dengan kecepatan yang mumpuni, mantap sudah! Wkwkwk

            Yah rencana Allah selalu indah, jika saat itu aku lolos, mungkin keinginanku untuk menjadi atlit semakin membuncah, lalu kesempatan serta keharusanku untuk menggunakan jilbab sehari-hari bisa terputus karena hal tersebut, atau mungkin aku sering berada dalam dilema. Haha.

***

            Peralihan SMP ke SMA, aku mendapatkan sebuah pengajaran dan pengalaman berharga dari bapak. Cukup memalukan juga sih, pasalnya, bapak mengajarkanku cara makan, cara berpakaian, cara bersikap dan cara merawat diri sebagai perempuan :’D . Saat itu bapak agak keras mengajarkanku, takut kelewat tomboy katanya, bagaimana cara makan, kami praktikan saat makan. Posisi badan harus tegap, kaki kiri dilipat, kaki kanan ditekuk ke perut, makan nunduk ke bawah terus, jangan sambil nonton TV, jangan duduk bersila, jangan sambil bicara, yah semacam itu hehe. Untuk berpakaian, bapak menyarankan aku untuk pakai rok, jangan pakai celana levis terus, jangan pakai yang ngepas ke badan juga. Lalu jangan meninggikan suara kalau bicara, jangan teriak-teriak, kalau ada tamu di rumah tugasnya apa, harus bawain air kan ya? Hehe. Dsb deh, banyak banget. Kemudian untuk merawat diri, seringkali aku diomeli ketika sehabis mandi jika tidak benar mengeringkan rambutnya. Bapak selalu memberi contoh, sambil membawa handuk lain, bapak menggosok-gosokan kain handuk ke rambutku, mengeringkannya dengan waktu sekian menit. Lantas bapak menyarankan aku untuk sering menyisir rambut, biar bagus nanti rambutnya (btw dulu masih jaman belum pake kerudung yak, hehe), ngga bercabang, tebal dan halus. Dan terbukti, dulu banyak sekali orang yang menginginkan rambut sepertiku wkwkwk. Bapak tidak pernah menyarankanku untuk berdandan, sama sekali tidak. Bapak lebih peduli kepada kebersihan dan kerapihan dibandingkan keindahan atau kecantikan ‘buatan’, baginya itu tidak masalah. Asal bersih, semua baik.

            Alhamdulillah, sejak menginjak SMA kelas 2 hingga detik ini, aku tidak pernah melupakan pengajaran bapak. Sebetulnya masih banyak sekali momen bersama bapak, pelajaran dari bapak, dan pengalaman dengan bapak. Namun tampaknya tulisan ini sudah kian memanjang sampai 5 halaman ms. Word hehe, khawatirnya pembaca jenuh jadinya ^^- hehe.. mungkin dilain kesempatan aku bisa menceritakan lebih banyak soal bapak. Soal masa mudanya, soal perjuangannya menikahi mama, soal pengorbanannya untuk keluarga besarnya (termasuk adik-adiknya), dan soal didikannya untuk kedua anaknya, terutama untukku sebagai anak pertama di keluarga kecil ini.

Ayu dan adikku, Fajar


Aku dan saudara-saudara dari keluarga Bapak


            Bapak kini sudah tidak muda lagi. Sudah mudah merasa sakit atau kelelahan walaupun aku tahu semua itu tak pernah dirasakannya. Berjalan begitu saja, karena sadar akan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Bapak, walaupun pekerja swasta di sebuah PT, bapak memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang guru mengaji di TPA, seorang buruh atau mungkin freelance yang sering diminta untuk –menulis- , melukis, dan menggambar. Kadangkala penjadi pelatih nasyid, maupun pidato. Bapak sangat senang dengan seni. Darah seninya didapat dari emak dan aki (orangtuanya bapak). Oh ya selain itu, bapak pun jago sekali dalam hal memasak maupun mencuci. Haha, mencuci? Ya mencuci. Dalam memasak ataupun mencuci, beliau selalu memiliki metode khusus dan unik. Tak heran hasil masakan beliau selalu enak, bahkan lebih enak dari buatan mamaku sendiri. Katanya saat masih remaja dulu bapak sering bantu ibunya membuat kue atau jajanan, berupa gorengan, seperti onde-onde, cireng, dsb. Saat itu keluarga bapak dikenal luas oleh warga Cijambe sebagai pedagang yang sukses dibidang makanan ini, hehe. Hasil mencucinya pun, bersih banget. Beneran deh hehe. Baik itu baju maupun piring-piring. Dalam hal lipat melipat baju, eh atau bahkan semua pekerjaan rumah tangga beliau sangat bisa. Aku heran, laki-laki kok sejago itu ya. Aku jadi malu, wkwk. Tidak mau kalah dari bapak, aku ingin berlatih semua pekerjaan rumah tangga itu untuk bekalku nanti (uhuk!). Ya ya ya walau itu masih agak lama sepertinya haha -,- (santai aja, mas mbak).

Bapak masih ditahun 1996



            Terakhir, aku ingat bapak pernah mengatakan hal ini ketika aku berada dalam titik terendah dalam hidup yang pertama kali aku alami.
“Bapak tahu kok, Ayu bukan tipe saintis. Ayu anak sosial, anak IPS. Tapi, tahu gak kenapa Allah menempatkan Ayu di ITB saat ini?, Allah tuh ingin memberi sebuah keajaiban. Allah ingin membuktikan bahwa Ayu yang segini aja BISA. Udah, tenang aja. Seringkali bukan besarnya gunung yang membuat kita tersandung, tapi karena kecilnya kerikil yang membuat kita tergelincir. La takhaf wa la tahzan, innallaha ma’ana.”
            ….

Dalam diam pun, pernah aku menangis didepan bapak karena aku tak tahan menyembunyikannya lagi. Saat laporan praktikum belum selesai, ada kuis belum sempat belajar, besoknya ada ujian, ada amanah ini itu, Ya Rabb, pokoknya lagi lalieur saat itu tuh, bapak mengelus kepalaku, sementara mama sedang mengomel, bapak mengatakan kembali, “Udah, yang kuat. Ayu bisa kok. Jangan nyerah ditengah jalan. Hadapi aja, nikmati, ok?”

            Lagi lagi aku membuatnya cemas, cemas yang tak pernah ditunjukkan. Laki-laki memang begitu ya, dilahirkan untuk memberi, dibesarkan untuk memimpin, dan dibersamai untuk mengukuhkan. Betapa Pak, jika kelak ada yang datang kepadamu untuk memintaku, mohon tanyakan, apakah ia bisa lebih baik dalam mendidikku daripadamu? Kemudian jika iya, mohon kukuhkan keyakinannya untuk menjagaku dan membimbingku selalu untuk dijalanNya. Hingga kelak, di surgalah pertemuan kedua kita setelah dunia ini. 

Pak, aku masih gadis kecilmu kan? gadis kecil yang kau saksikan mulai mendewasa. Walaupun begitu, aku masih membutuhkan banyak dampingan serta arahan. Kau pasti tahu itu, bukan?

Pak, sehat selalu ya. 
Semoga Allah menjagamu dengan penuh dekapan. :')
Barakallahu ‘alayk, Bapak~ 

Rasulullah Saw ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Rasulullah Saw ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Rasulullah SAW ditanya tentang peranan kedua orangtua. Lalu beliau menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)

Syukur tiada henti ku panjatkan, karena aku anak gadismu.

Bapak dan Ayu (1,5 thn)



Ayu Saraswati
Bandung, 7 Mei 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah