Inspirasi dari Nenek Rin

Lagi-lagi, masjid Salman menjadi markas paling asik untuk cari inspirasi. Terkadang tak sengaja didapat, seperti hari ini ketika saya tengah iseng jalan-jalan sekitaran salman, sambil menunggu kawan saya, Aisyah, untuk datang bergabung dengan saya dan Shaffa.


Langkah kaki saya terhenti disebuah kursi didekat pohon didepan lapangan futsal. Perhatian saya tersedot kepada 5 anak-anak yang sedang asik bermain bola. Tapi salah satu diantara mereka ada satu anak yang begitu ceria, aktif berlari kesana kemari dengan tawa yang tanpa henti.

"Wah, kayaknya bahagia banget itu anak, hehe." , lirih saya berkata demikian. Tanpa aba-aba saya mulai mengabadikan momen keceriaan anak-anak tersebut.


Kemudian anak-anak itu rehat, dia menghampiri saya, kemudian salah satunya berucap, "Teh, itu kamera? Boleh pinjem ga teh? Pengen foto-foto. Tadi teteh ngefoto kan? Hehe." , ucap anak itu dengan beberapa bunga yang digenggamannya. Bunga tersebut, rupanya adalah bunga yang hendak dia jual. Ya, anak itu seorang penjual bunga.


"Iya boleh nanti ya teteh foto-foto lagi kalian nya, eh iya, itu anaknya memang ceria banget ya? :)" , tanyaku.

"Itu mah anaknya hiperaktif teh, belum bisa ngomong juga." , jawab si anak penjual bunga tersebut.

"Oh gitu, kalau kalian rumahnya pada dimana Dek?"

"Di terminal dago teh, hehe."

"Oh jadi kesini buat main ya?"

"Iya teh, ..."

Mataku kembali teralihkan kepada satu anak berkulit cukup coklat, dengan (maaf) liur yang terus menetes dimulutnya, wajahnya senantiasa tersenyum, tertawa dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa terpahami orang lain.

Add caption

"Dek, awas loh ya jangan ngaheureuyan anak itu. Wkwk. Ajak main aja. Seneng main itu orangnya." , kataku membuat mereka terkejut dan segera menjawab, "Engga kok teh, itu tuh si itu yang tadi bilang seneng kalau ngejailin si anak itu."

"Iya, jangan ya pokoknya. :)"

"Teh, itu neneknya dateng."

"Eh ibu, :) lagi ngajak cucu main bu?"

"Iya Neng, hehe..."

Setelah itu, terlibatlah banyak obrolan antara saya dengan nenek tersebut setelah nenek bertanya pada saya, "Neng bawa kamera buat apa neng? Suka foto-foto ya? Dulu harus banget saya beli itu untuk kebutuhan, hehe."

Siapa sangka, nenek yang bernama Rinnekeu itu, yang sedang mengasuh cucunya tersebut adalah mantan jurnalis, seorang wartawati di salah satu koran di tahun 70 (kalau tidak salah), koran API PANCASILA. Bahkan nenek tersebut pun, pernah beberapa kali bermain sinetron di layar televisi, entah itu di TVR* , R*TI, Indos*ar. Nenek tersebut pun sejak dahulu sampai hari ini, masih aktif menulis sebuah cerita, novel atau script untuk teater. Ketika saya ngobrol dengan beliau pun, rupanya beliau membawa buku coretan untuk menulis sembari mengasuh cucunya.



Cucunya sangat hiperaktif, dan terhambat perkembangan motorik maupun emosionalnya. Cucu nenek tersebut bernama Alviano. Cucu yang nenek asuh sendiri di rumah. Ibu dari Alviano, mengalami sedikit gangguan kejiwaan, semacam depresi karena beban pikiran yang amat dalam. Ayahnya Al, begitu panggilannya, menurut keterangan nenek tersebut, sudah lama tidak pulang, entah pergi kemana, tidak sedikitpun menafkahi ataupun merawat anaknya sendiri.

Berulang kalipun, Nenek Rinnekeu memberi nasihat kepada anaknya, "Udah, jangan terlalu dibawa beban pikiran. Hidup mah ngalir aja. Dalam artian, terima aja, ikhlaskan, syukuri apa yang udah dimiliki. Nikmati aja hidup ini.... Hayati.."

Al sedang mencoba untuk naik tangga


Dengan kondisi ekonomi yang kekurangan, nenek itu masih terus belajar, dengan menulis cerita, untuk akhirnya, diberikan kepada orang yang meminta tulisannya. "Lumayan, dapet honor Neng jadinya."
Walaupun harus kerepotan mengurus cucu yang sulit diatur, nenek tetap berusaha memberikan yang terbaik. Terkadang buka salon kecil-kecilan di rumah. Nenek itu pandai sekali merias, dan menata rambut. Walau dngan modal yang sedikit, tapi yang terpenting mau tetap berusaha.

Hal yang saya kagumi dari nenek ini adalah, keteguhan hatinya dalam mengarungi kehidupan yang tak mudah. Mau berusaha dan tetap memegang prinsip walaupun sering dibenturkan lagi dan lagi. Pekerjaannya menjadi seorang wartawati pun tak selalu mulus, kehidupan percintaan nenek, kemudian kehidupan keluarganya, semua itu diperlukan pemahaman yang benar.

Nenek sedang membantu Al untuk naik tangga

Tak ada pelaut ulung yang lahir dari ombak yang tenang. Begitu pula manusia, akan selalu diuji untuk semakin menguat.

Pesan terakhir dari nenek, "Semoga bisa tercapai ya Neng jadi penulis. Jadi penulis itu, kita bisa mendapatkan banyak hal. Yang pertama, kebahagiaan. Kedua, ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Dan ketiga, honor. Hahaha."

Kiranya pertemuan singkat kami berakhir di setengah jam menuju adzan, dengan baik hatinya, panitia konsum P3R mau membantu nenek tersebut untuk mendapatkan makanan berbuka.



Alhamdulillah 'ala kulli hal, semoga keberkahan Ramadhan terasa hingga ke relung para muslimin. Pelajaran bisa didapat dimana saja. Apa yang saya tuliskan disini hanyalah sebagian kecil dari kisah yang saya dapatkan dari nenek Rinnekeu. Insya allah, dilain kesempatan akan saya bagikan kembali. Untuk saat ini, hanya sampai disini. Mudah-mudahan, secuil hikmah untuk tak pernah berhenti menutut ilmu walaupun raga tak lagi muda, makin melekat dan membuat diri semangat dalam meraih ilmu. Akhirul kalam, syukran katsira. :)



Bandung, 30 Mei 2017

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah