Sudah Tidak Sakit Lagi kan, 'Ain?

"Aini?" , wanita kisaran usia pertengahan 50-60 itu bertanya ulang.
"Iya bu, hehe. Aini aja." , ujar salah seorang dari kami sambil tetap menyunggingkan senyum.
"Nanti yang punya nama Aini marah loh mas..." , kata wanita berjas putih itu, sembari menuliskan nama -Aini- diatas buku catatan miliknya.
"Hehe, . . . ."

Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut kami bertiga. Di sebuah ruangan kecil tersebut hanya ada keheningan sampai pada akhirnya pecah karena 'eongan' kecil dari Aini.

"Hey, kucing kecil kami, udah enakan kan?" , hati kecilku berkata demikian. Namun yang tersirat hanyalah ekspresi kelegaan sambil memandangi dan mengelusi kepala mungilnya.

"Jadi, ini yang bertanggung jawab atas nama siapa yang Mas, Mbak..?" , dokter hewan lulusan UGM itu kembali bertanya.
Kami bertiga saling berpandangan, aku, kak Rifqi dan Shaffa. Saling melempar isyarat untuk siapa yang mau bertanggung jawab.
"Kamu aja... engga ih, jangan aku, kamu aja..." , percakapan kami tanpa suara.
"Ayo, Mas Mbak, siapa nih? masa ngga ada yang mau tanggung jawab, nanti kalau ada apa-apa gimana. Inget loh Mas Mbak, niatkan semua ini untuk ibadah sama Allah. Kanjeng Nabi aja sayang sama kucing." , dokter hewan tersebut menerangkan dengan logat jawanya yang khas.

(Duh, bukannya aku gak mau, tapi kayaknya aku belum memungkinkan deh untuk ambil tanggung jawab. Shaffa juga, sibuk sama jurusannya. Yang paling avaiable itu.........)

"Ada bu yang bertanggung jawab." , kataku spontan.
"Siapa Mbak?"
"Rifqi, Bu." ((haha)) , disitu aku mendapati mata bulat menonjol dari kak Rifqi sambil tersenyum 'kaget' seolah mengatakan "a-apppaaa?? ih kamu iniii", sampai akhirnya beliau tarik nafas sseolah seperti akan mengambil keputusan besar dalam hidupnya dan berkata, "Hemmmm, Iya bu. Insya Allah, saya yang bertanggung jawab."
"Serius Mas? Oke ya, R-i-f-k-i." , jemari bu Dokter menari-nari agak sedikit pelan. Dengan huruf Q yang tertukar jadi K, sepertinya tidak jadi masalah besar buat kaka. Terlihat dari responnya yang biasa saja.
"Alhamdulillah........"

Berhubung sebentar lagi Kak Rifqi akan wisuda, jadi pikiranku mungkin beliau akan lebih banyak waktu untuk merawat Aini dibandingkan aku dan Shaffa. Maka dari itu aku memberanikan diri untuk berkata nyeplos untuk siapa yang akan bertanggung jawab. Walaupun pada awalnya, aku yang menemukan bayi kucing itu tengah sakit, tetapi yang memiliki inisiatif untuk membawanya ke vet adalah kak Rifqi. Bahkan saking 'sayangnya' beliau sama Aini, Aini sampai dibawa tidur olehnya, ckck.

"Kalau diajak tidur sama saya berarti saya gak jijik-an kan Bu? hehe." , ucap kak Rifqi menyanggah soal perkataan bu Dokter yang mengatakan bahwa, "Jangan jijik-an sama kucing Dek, harus mau bersihin matanya tiap hari. Pakai air hangat. Diusap-usap searah sama jalur matanya, ingusnya juga dilap, ya Dek. Kalau jijik-an mau gimana toh nanti rawatnya........"

*

Satu jam sebelum kami berada di klinik hewan....

Sore itu, sebelum adzan ashar berkumandang dari masjid salman ITB, aku dan temanku, Aisyah baru kembali ke salman sehabis membantu adik tingkat kami mengurus surat perizinan untuk acara GAMAIS nanti. Kami duduk di selasar teh dekat dengan tempat penyimpanan sepatu akhwat. Dari kejauhan, aku melihat kucing mungil tengah diam disisi tangga dekat koridor timur salman. Aku cukup agresif ketika melihat sosok kucing dimanapun itu berada, hehe. Dalam hitungan detik, aku sudah berlari-lari kecil mengajak Aisyah untuk mendatangi kucing mungil itu.

Sesampai disana, Aisyah langsung mengeluarkan makanan khusus kucing dalam bentuk dry food dari dalam tasnya. Akhir-akhir ini dia rajin bawa makanan kucing, katanya sih berbagi rejeki sama kucing-kucing di ITB sama Salman. Sementara aku sibuk mengelus kucing mungil itu yang kelihatannya lemas itu.

"Eh Ai, ini kayaknya kelaperan ya. Parah nih emaknya gak mau nyusuin dia -_- , didiemin gini. Padahal anaknya yang lain, dia kasih minum." , kataku sambil memandang sinis dari jauh kucing betina berbulu oranye kekuning-kuningan itu yang disinyalir adalah ibu si kucing mungil ini.

"Iya duh kasian meni udah lemes gini, ..." , Aisyah menyodorkan tangannya ke dekat mulut si kucing mungil ini.
"hmm, kok gk mau makan ya. Eh bentar-bentar itu makanannya buat kucing dewasa apa buat kucing yang masih kecil? soalnya beda Ai sekalipun dry food." , kataku sedikit menerangkan pengetahuan seputar makanan kucing yang pernah didapat.
"Gak tau atuh, hehe."
"Yah, bentar deh, coba dikasih air dulu itu si makanannya biar empuk."
Kami langsung memberikan air dan menunggu sampai airnya menyerap ke dalam makanan tersebut. Kemudian, dari arah barat, ada seseorang yang datang, Kak Nadine.

"Eh hai, kalian lagi ngapain, Saras, Aisyah?"
Oya, sama beliau aku dipanggil Saras. Jangan protes yak, ini karena di GAMAIS ada juga yang namanya Ayu, jadi biar gak ketuker ceritanya. Ehee..
"Ini kak, lagi ngasih makan kucing. Kasian kucingnya lemes, lagi sakit. Itu matanya aja sampai ketutup sama kotorannya gitu, hidung dan mulutnya juga basah. Badannya kotor, dan berkutu. heu." , kataku menjelaskan sambil tak mau memalingkan wajah sedikitpun dari kucing mungil itu.
"Aduh, kalian...... segitunya."

"Iya ini juga pengen banget bawa ke dokter hewan, biar diobatin. Kemarin-kemarin ada kaka tingkat yang nyoba buat bersihin matanya, tapi gak tega lagi soalnya si kucingnya kayak kesakitan gitu waktu dibersihin matanya..." , aku mulai bercerita.

"Kemarin-kemarin juga sebetulnya udah mau dibawa ke klinik hewan, cuman gak sempet terus kaka tingkatnya, aku juga lagi masuk kuliah pagi terus sampai sore. Dan terkendala uang juga sih, heu. Kalaaaaau aja aku ada uang lebih sekarang, aku bawa langsung nih ke dokter hewan (T_T)." , tambahku.

"Hmm.. gitu ya..." , kata kak Nadine dengan raut wajah yang sepertinya cukup prihatin.

"Ai... kamu ada uang lebih gak?" , tanyaku dengan suara pelan, agak malu karena masalah uang biasanya agak sensitif.
"Ada sih, tapi ini buat ban mobil aku sekarang mau ke bengkel, takut keburu gimana-gimana nih nantinya. Maaf ya...."
"Oh gitu ya.... hmm... gimana ya... ini udah lemes pisan kucingnya, gak tega."


Kucing mungil bernama Aini saat di Salman

(Ya Rabb, kalau sore ini memang uang BM saya cair, itu berarti ada rejekinya kucing ini di saya. Kalaupun belum cair, semoga ada yang bisa bantu menolong kucing ini. Tolong Ya Rabb.......)

Aku masih hafal bisikan do'a ini kala itu, wkwk. Dan ternyata, alhamdulillah. Selang 10 menit setelah Aisyah mengambil foto kucing mungil itu dan mengumumkannya di grup besar, dengan embel-embel yang intinya, "ada yang lagi di salman dan bisa bantuin sesuatu?" , bantuan datang dari adik tingkat kami, Fahmi Aditya.

"Kak, butuh dana berapa? Aku bisa kak, insya allah." , bagai kena durian runtuh. Muka ku langsung segar, :'D cepat-cepat aku balas pm-annya di line.
"Hmm bisa apa Mi? Bisa bantu?? kamu ada uang Mi?"
"Ada. Dokter hewannya dimana kak? Aku ambil uang dulu."
"Di Jalan Surapati kalau kaka gak salah, deket pusdai."
"Ok, tunggu. Lagi dimana kak?"
"Salman. Bawah tangga kortim."

Alhamdulillah, akhirnya memang rejekinya si kucing nih. Tanpa menunggu lama, aku segera hubungi Kak Rifqi, rekan 'rescue cat team' (haha) untuk mengabari terkait hal ini, dan membantu membawanya ke dokter hewan.
Sambil menunggu Fahmi, aku masih mengobrol dengan kak Nadine.
"Saras... Saras maaf ih aku gak bisa bantu. :(" , tangannya menyentuh lembut tanganku, dengan mimik wajah merasa bersalah, beliau melanjutkan lagi omongannya,
"Aku lagi gk punya uang lebih juga, dan ini sekarang ada keluarga dateng. Aku harus pulang cepet. Maaf ya sekali lagi huhu.."
"Eh iya kak gapapa, alhamdulillah udah ada yang mau bantuin barusan, dari adik tingkat. hehe" , kataku berusaha meyakinkan.
"Saras, aku salut ih, kalian sampai segitunya. Merhatiin hal kecil banget, sampai kucing aja diperhatiin dan bela-belain gitu, aku malu jadinya gak bisa apa-apa."
"hehe...:') iya kak, aku keingetan perkataan nabi kalau siapa saja yang menyangi makhluk Allah di ada di bumi, maka makhluk yang ada di langit akan menyayangimu juga. Sekedar motivasi dan memang aku sayang sama kucing....."

Karena Aisyah mesti ke bengkel, akhirnya aku, Kak Rifqi dan Shaffa yang berangkat ke klinik hewan. Kenapa bisa tiba-tiba ada Shaffa? Ya, aku mengajak dia sehabis dia beres suatu urusan. Tujuannya supaya aku ada temen dan special purposenya, mau bikin Shaffa gak takut lagi sama kucing (wkwk). Dengan kantung yang cukup oke untuk membawa kucing, dililit dengan kain mirip buff punya kak Rifqi, kucing berhasil dibawa dengan dimasukkan ke dalam tas milik beliau.

Perjalanan sekitar 10-15 menit menuju klinik hewan, tak begitu jauh beruntungnya. 


**

"Chihhh...." , ada suara bersin kecil. Abang-abang yang sedang mempraktikan pembersihan telinga kucing kepada kami itu kaget. Aku lebih kaget lagi, karena tetiba ada secuil cairan lengket warna hijau kusam berada ditangan kiriku. Aih, ini lendir. Si Aini bersin ternyata, hihi. Dia memang sedang flu saat itu, kata bu dokter.

"Jadi..... ini obatnya ya Mbak, dikasihin nanti, tiap 12 jam sekali. Obatnya dibagi 6 ya. Ini bonus aja dari saya obatnya. Soalnya tadi udah ta' suntik vit A sama multivitaminnya biar dia gak lemes. Tuh....tuh. udah bisa ngigit kan hehehe" , kata bu dokter sambil memperhatikan Aini yang sedang mengigiti jemari kak Rifqi.

"Lalu nih Mas Mbak, kasih susunya ya, segini aja (sambil menunjukkan takaran susu di pipetnya). Nanti kalau udah lebih baik, kasih madu juga. Kuning telur juga yah." , bu dokter masih mencatat.

"Iya bu..." glekk, kami agak kuatir. Kuatir tidak bisa merawat Aini secara rutin dan perhatian penuh, karena mengingat kesibukan kami di kampus dan agenda-agenda lain yang menyita waktu.

"Siap yo Mas, Mbak, untuk rawat? awas loh jangan ditaruh lagi di salman kucingnya. Haduh, nanti percuma dong sakit lagi, kalau gak diurus?"
"Emmmm ehehehehe...." , kami bertiga saling berpandangan.
"Eh nih Mas, Mbak, kalau kita nemu kucing, mungut kucing, harus serius mau ngurus. Jangan setengah-setengah. Pan kalau ada kucing misal datengin ke rumah kita, atau datengin waktu kita lagi makan, itu artinya ada rejeki kucing di kita. Pasti taulah Mas dan Mbak ini.... Niatin aja mau ibadah. Udah gitu aja."
"Hehe, iya bu insya allah." , kata Kak Rifqi,
"Bener ya? jangan insya allah-insya allah aja, tapi gak dilaksanain...."
"Insya allah bu." , katanya sambil tersenyum.

***

Setelah kembali ke salman, kami terlibat obrolan cukup serius siapa yang hendak mengadopsi Aini  ini. Aini masih tertidur pulas setelah mendapatkan dua suntikan tadi, tidurnya nyaman terlihat dari nafasnya dan geraknya yang tidak selemas semula.
Bla bla bla, (obrolan panjang sekali) hingga akhirnya, alhamdulillah, teman kami, Dila, mau mengadopsi Aini sementara sampai Aini menemukan pengadopsi lain yang sanggup secara waktu dan materi.

Malam itu juga, Dila membawa Aini ke kos-annya dan mulai merawat Aini seperti instruksi yang diberikan dokter. Aku bersyukur dengan sangat, setidaknya ada yang mau menyayangi Aini selain kami. Namun sayang, di hari ke-4 setelah dibawa ke klinik hewan tersebut, Aini tidak lagi bernyawa.
Aini yang sudah kaku tak bernyawa


Padahal, hari-hari sebelumnya, Aini sudah lebih baik, bisa gerak-gerak, sedikit aktif, bisa jalan-jalan, minum susunya lumayan, rutin diberi obat juga. Tetapi di hari Selasa kemarin, aku dikabari oleh Dila bahwa Aini sudah tak bernyawa dan kaku. 30 menit entah 1 jam sebelumnya Aini masih ada dan sedikit bergerak mungkin karena lemas, ditinggal mandi sebentar oleh Dila, selesai itu dicek lagi Aini sudah tidak ada. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.

Hmmm... aku yang tengah rapat di hari itu langsung shock. Dengan segera aku kabari kak Rifqi yang sedang melangsungkan syukuran wisudanya di Salman. Kami semua sedih. Terlintas pikiran dari Dila bahwa dia tidak cukup baik menjaga amanah, aku bilang, "Engga Dil, kamu udah lakuin yang terbaik kok, insya allah pahalanya udah dapet ya Dil...."

"Insya Allah Aini udah tenang kok. :')" , kata kak Rifqi menghibur kami.

****

Hey, 'Ain, udah gak sakit lagi kan sekarang? Udah gak lemes lagi?
Maafkan kami ya kalau belum 'becus' rawat Aini.... belum bener-bener amanah, atau terlambat bantu sembuhin Aini.
Kami harap, Aini, dengan kesulitannya dahulu untuk membuka mata, disana, bersama Rabb semesta alam, Aini bisa bebas melihat ribuan kali lipat keindahan yang ada disana dibandingkan di dunia ini dengan tanpa rasa pedih dan sakit karena kotoran yang menempel bandel disekitaran mata seperti dulu.
'Ain, makhluk kesayangan Nabi, dicintai Khaliq, penyejuk mata kami, syukran untuk sedikit waktunya didunia ini. Maafkan kalau aku (khusunya) sudah 'lebay' atau berlebihan dalam menuliskan hal ini. Tapi 'Ain, kamu kucing pertama yang bisa aku bantu selamatkan bersama dengan teman-temanku. Tidak hanya aku sendiri 'Ain, tapi dengan mereka juga. Mereka yang sayang dan peduli sama 'Ain.

Terima kasih banyak aku ucapkan untuk Fahmi yang sudah membantu biaya pengobatan Aini, untuk Aisyah dengan kepeduliannya memberi makanan untuk Aini, kepada kak Nadine yang sudah mau peduli dan merasa bersalah tak bisa membantu Aini, kepada Shaffa yang sudah mau diajak mengobati Aini, untuk Dila yang dengan ikhlas menyempatkan waktunya untuk merawat Aini disela kesibukan akademiknya, dan terakhir untuk Kak Rifqi yang sudah amat sayang dan nemenin Aini sejak masih sakit. Barakallahu fikum, semoga Allah memberi balasan yang lebih baik. ({})
Aamiin.


*) ps: Maafkan kalau aku lebay he, nulis ini segala ^^- bahasanya amburadul, alurnya gak pas, atau isi pembicaraan yang gak sesuai. Semua ini aku tulis berdasarkan pengalaman yang tertancap di memori, alias yang aku ingat saja hehe. Apa-apa yang keliru, insya allah akan segera diedit. Semoga tetap bisa dinikmati (walau sedikit), hehe.
Syukran.

"Dan segala yang ingin aku kenang, adalah apa yang ingin selalu aku tuliskan." :)

Salam,

Ayu Sarasawati

Bandung, 29 Maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah