Beda 'Kepala', Beda Karya

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman beswan BsPI (Beasiswa Percikan Iman), mengadakan rihlah ke CIC yang berada di Lembang. Setelah kurang dari 1 jam berjalan, kami menemukan tempat dimana terlihat sedikit seperti sebuah lapangan rumput dengan jejeran pohon pinusnya, kami memutuskan untuk singgah disana.

Kegiatan pertama yang diselenggarakan adalah game. Saya tidak tahu mengapa harus game jadi kegiatan pertamanya, haha. Dengan arahan dari Kang Widi dan Kang Fuad, game ini dijelaskan aturan mainnya dan ternyata cukup unik!
Why?

Kami diminta untuk membangun sebuah menara tinggi dari 2 bungkus sedotan, dan satu gulung selotip. Aturannya, kami tidak diperkenankan untuk bicara/berkomunikasi dengan teman satu kelompok kami selama membangun menara tersebut, hanya boleh dengan isyarat tangan, gestur badan, dan mimik wajah. Seriously, itu menantang. Haha. Karena bagaimana hendak menyusun strategi dan mengkomunikasikannya dengan satu kelompok apabila kita diperbolehkan bicara?
"Menara yang tertinggi lah yang akan jadi pemenangnya." , kata Kang Widi .

Yang pertama saya pikirkan saat membangun sebuah menara adalah, bagaimana caranya supaya menara itu tinggi tapi kukuh. Tidak sekedar tinggi. Saya belajar dari pengalaman dulu ketika jaman TPB matkul PRD, ketika oleh dosen kami diminta untuk membangun sebuah menara dari kertas-kertas. How? , yap saya dan teman-teman berhasil bangun menara, tapi sayangnya rapuh. Tinggi sih tinggi tapi mudah jatuh.

Setelah selesai aba-aba, game pun dimulai. Saya dan teman-teman langsung berkumpul dan mencari tanah yang datar. Sebelumnya saya sudah terpikir bagaimana cara membuat menara yang kukuh. Kami semua jongkok lalu saya coba komandoi semua untuk membuat persegi untuk dasar menara, dililit tiap sudutnya dengan selotip dan disambungkan pula dengan tiang untuk menyangga tingkat berikutnya menggunakan isyarat tangan. Herannya, semua langsung mengerti dan kami berpikiran yang sama! Terlihat dari sunggingan senyum teman-teman saya. :)
Oleh karena itu, tak butuh waktu yang lama untuk membangun menara dari sedotan itu. Kami bekerja tanpa suara, cekatan, dan kerjasama yang baik! What a good team work, I said.

15 menit berlalu, itu artinya kami harus segera berhenti bekerja. Alhamdulillah, sudah selesai. Sekarang, giliran kami untuk mempresentasikan hasil karya menara kami ke kelompok lain. Sekilas saya lihat kelompok lain, ternyata menaranya lebih tinggi daripada milik kami. Saya jadi tertarik memperhatikan menara milik kelompok lain. Lebih tinggi memang, tapi kelihatannya kurang kuat (maaf :'D , itu hanya apa yang ku lihat).

Benar saja, ketika tiba-tiba ada angin, menara milik kelompok lain tersebut tumbang. Untungnya, sempat tertahan oleh teman saya. Lalu teman saya mencoba menancapkan sedotan tersebut ke tanah dengan bantuan alat dari 'alam', wkwk. Akhirnya, menara mereka bisa berdiri lagi.

"Eh itu kayaknya yang diatasnya bikin menaranya jadi berat deh, makanya gampang jatuh." , kataku kepada temanku sejak MA, Rizal.

Ada ranting kecil dari pohon pinus itu diikatkan dengan selotip dipuncak menaranya, mungkin supaya terlihat tinggi menaranya. Hehe. Semakin saya lihat, menara milik kelompok lain itu unik, cukup estetik, menyerupai menara pisa kata mereka. Panjang ramping dan sedikit miring, tapi ada nilai estetiknya, entah saya agak sulit menjelaskannya hehe. Kalau menara milik kelompok saya, cenderung lebih presisi, sistematis, dan kuat walaupun tidak setinggi milik menara lain. Karena fokus kami, adalah memikirkan bagaimana caranya supaya menara tersebut tidak mudah roboh, (agak) gak peduli amat tinggi menaranya akan setinggi apa hehe, yang pasti, kami bersepakat dengan pemikiran kami, bahwa 'yang penting kuat, walaupun tidak terlalu tinggi'. Sedangkan saat presentasi kelompok lain, mereka memfokuskan kepada ketinggian menaranya tanpa memperhatikan banyak kekuatan dari bangunan tersebut. Tidak ada yang keliru dari kedua pemikiran ini, menurut saya. Karena kami semua, mengambil dua fokus yang berbeda.

Saat bicara filosofi bangunan menara milik kelompok kami, kami sampaikan bahwa segala sesuatu yang hendak 'dibangun' itu harus memiliki dasar yang kuat, pondasi yang tepat dan dimulai dari hal sederhana, dari tingkat bawah dan perhitungan yang cermat. Mengapa begitu? jika dasarnya saja sudah tidak kuat, bagaimana hendak membangun kekukuhan 'bangunan' hingga ke atapnya? tak banyak yang bisa diharapkan. Saat ada sedikit gangguan, mudah goyah dan bahkan worst case nya adalah jatuh dan hancur. Sama seperti proses pembelajaran kita di dunia pendidikan formal, kalau dasar matematika macam pertambahan pengurangan - perkalian dan pembagian saja kita belum mahir, kita akan kesulitan untuk naik ke tahap selanjutnya untuk mengerjakan kasus-kasus lain yang menggunakan konsep dasar tersebut. Sederhananya itu.

Pun sama halnya ketika belajar ilmu agama. Harus dikuatkan dulu aqidahnya sebagai pondasi berpikirnya, baru bisa merambah ke pengetahuan agama yang lain, ke tahap yang lebih tinggi. Kalau aqidahnya saja masih kacau, bagaimana bisa memahami hal-hal lainnya?
Bahkan represntasi terbesar dari sebuah aqidah adalah penegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi melalui sebuah institusi. Butuh dasar yang kuat dan belajar yang tak sedikit dan tak sebentar bukan? hehe

"Ini mah, saya susah nentuin nih siapa yang menang. Soalnya masing-masing kelompok punya plus minusnya. Yang satu tinggi tapi gak kuat, yang satu lagi kuat tapi gak terlalu tinggi, hehe." , kata Kang Fuad.

"Emang bener ya, beda kepala beda karya. Hasilnya bakal beda. Yang kelompoknya Ratna punya nilai estetik dan kayaknya anak-anaknya cenderung lebih ke sosial kemampuan lebihnya. Sedangkan kelompoknya Ayu, presisi banget, sistematis, anak-anak IPA mah cenderungnya gitu ya. Gak ada yang lebih atau kurang sih, menurut Akang dua-duanya sama-sama bagus, karena pemikirannya beda, makanya cara ngerjainnya juga beda, gak bisa disamain." , tambahnya.
Saya dan kelompok saya saat mengerjakan pembangunan menara.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gambar itu Haram? (Chapter 1: Tashwir)

Ruang Bebas Baca

Ada Hikmah Dibalik Basmallah